PERCIK.ID- Manusia hanya bisa kembali ke Tuhannya, lain tidak. Maka kutulis “inna lillahi wa inna ilaihi raajiun” atas kematian Diego Armando Maradona yang lantas membuat heran beberapa kawan, satu di antaranya malah menggugat, “Jangan ucapkan itu untuk kematian seorang kafir!”
Saya rasa, ungkapan saya itu
justru adalah ekspresi keimanan. Ekspresi seorang yang meyakini bahwa tiada
satu pun manusia yang meninggal kecuali Tuhan lah tempat kembali: yang beriman
maupun yang ingkar, disebut legenda atau orang biasa, sama saja.
Segala sesuatu yang berkaitan
dengan keimanan selalu bikin kita gaduh dalam perdebatan. Kenapa tak kita
cukupkan dan mencoba cara pandang yang berbeda. Semisal kekaguman atas betapa
artistiknya Tuhan dengan ciptaannya yang bernama Maradona. Opsi ini tentu saja
bagi yang meyakini bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, bukannya evolusi dari
sesosok kera yang namanya sulit untuk dieja.
Sepanjang sejarah pengetahuan kita tentang sepak bola, nama Maradona akan selalu ikut serta pada jajaran pesepakbola paling dahsyat. Ia pasti akan dikenang untuk waktu yang panjang.
Penyebutan dahsyat di situ
merupakan akumulasi dari keseluruhan kemampuan olah bola, kecerdasan, keuletan,
dan sedikit kelicikan yang Maradona miliki; mempermalukan setengah jumlah lawan
sebelum melepaskan tendangan yang menggetarkan gawang, melakukan kecurangan
mencetak gol dengan tangan dan malah disebut meminjam “tangan Tuhan”, mangantar
Timnas Argentina meraih gelar Piala Dunia, dan mengantarkan Napoli
meraih
Scudetto untuk pertama kalinya dalam sejarah berdirinya klub. Kabarnya, ia dulu
didatangkan dari Barcelona dengan biaya transfer fantastis yang sebagian
besarnya merupakan “sumbangan” dari para mafia.
“Dunia telah berubah. Kota
paling berisik, ramai, dan semrawut di Eropa mendadak sepi." Itu adalah
kalimat dari antropolog Italia Amalia Signorelli ketika ia menjelaskan suasana
kota Naples pada sore hari tanggal 10 Mei 1987.
Kala itu, Napoli sedang
menjamu Fiorentina. Partenopei -julukan Napoli- cuma butuh hasil seri untuk
mengamankan Scudetto pertama mereka sepanjang sejarah. Laga berakhir 1-1, misi
selesai. Maradona membawa Napoli
juara untuk pertama kalinya.
Di bawah bayang-bayang Gunung
Vesuvius seisi kota ini kemudian mengalami "erupsi". Ledakan
kegembiraan terjadi. Keheningan yang tadi menyelimuti seketika berganti dengan
histeria. Seluruh kota berpesta dalam sepekan. Seorang suporter Napoli menulis
"Kalian rugi karena mati lebih cepat!" di sebuah dinding pemakaman
lokal di Naples.
Satu fragmen kisah hidup
Maradona itu alangkah indah. Pengalaman hidup yang manis bagi banyak manusia. Kegembiraan
meluap-luap memenuhi dada dan kematian sebelum mencicipinya rasanya memang
patut disesali.
Mengagumi Maradona adalah
mengagumi Tuhan. Sebab Tuhan mencintai keindahan, dan Maradona adalah salah
satunya. Kita tidak sedang mencoba magang menjadi malaikat pencatat amal yang
meneliti tiap-tiap keburukan yang pernah ia kerjakan, soal masa lalunya yang
berkelindan dengan narkoba sekaligus tidak juga mencoba bersimpati pada
amal-amal kebaikan yang pernah ia galang semasa hidupnya. Kita mencoba
membatasi diri, mengerti konteks, mencukupkan pembahasan pada permainan sebelas
lawan sebelas, dengan sebuah bola yang bisa menciptakan histeria, trauma—bahkan
kematian.
Segala sesuatu selainNYA, cuma
layak jadi perantara, tak terkecuali Maradona. Ia cuma sekeping puzzle keindahan dari
jumlah yang tak terbilang di alam semesta. Seluruhnya cuma menunjukkan betapa
Tuhan adalah keindahan sejati yang tiada duanya. KeindahanNYA menghampar,
memenuhi tiap jengkal ciptaanNYA. Ada yang bersembunyi di balik mata dhaif yang
tak terasah makrifat.
Pada Maradona, kita tidak
sedang membahas manusia. Kita cuma berkendara dengan namanya menuju namaNYA.
Kalau pun tak bisa, setidaknya sudah kita coba.
percik.id
BalasHapusInna Lillahi...Maradona