PERCIK.ID- Ada salah satu
cara cepat dan mudah untuk menakar sejauh apa efektifitas puasa yang sudah hampir
selesai ini, yakni dengan: melihat bagaimana gelaran buka puasa yang kita
kerjakan.
Berbuka adalah momentum puncak kenikmatan puasa. Bahkan, Kanjeng Nabi mewasiatkan bahwa berbuka puasa adalah salah satu dari dua kenikmatan orang berpuasa, selain berjumpa wajah Tuhan. Meski, pada perkara terakhir tadi kita tidak (atau belum) tahu pasti, tapi setidak-tidaknya, pada perkara pertama, keyakinan kita sudah mantap betul.
Apalagi saya.
Berbuka puasa barangkali adalah agenda terbesar dari rangkaian ibadah puasa
dalam sehari. Orang-orang boleh berbahagia dengan tarawih, banyak juga yang
menjadikan khatam Qur’an sebagai agenda utama, atau yang sangat menikmati subuh
pagi yang tiba-tiba ramai jama’ah dan anak-anak karena akan berjalan-jalan pagi
selepas sholat. Bahkan, memang ada juga mereka-mereka yang telah mampu
menjadikan lapar dan dahaga sebagai inti kenikmatan puasa.
Saya barangkali
belum dengan itu semua. Puasa menyenangkan tidak karena ritual-ritual
ibadahnya. Tidak juga karena tadarus atau khataman. Subuhan dan jalanan pagi
yang ramai anak-anak adalah nuansa membahagiakan, tapi yang jelas, lapar dan
dahaga tentu tidak menyenangkan. Sehingga, pastinya, berbuka puasa adalah
kenikmatan yang paling saya damba-dambakan.
Seperti
anjuran Mbah Subreg, tetangga saya yang menganjurkan agar jarang-jarang mandi
supaya sekalinya mandi terasa maksimal kesegarannya, barangkali itulah esensi
puasa buat saya. Puasa sebatas penundaan kenikmatan belaka. Ia sengaja saya
perbuat demi merasakan sensasi nikmat makan yang lebih ngejoss.
Seperti pegas, ditekan untuk meledakkan daya lontar yang lebih kencang.
Maka, buka
puasa bagi saya adalah festival meriah yang lebih dari sekadar membatalkan
puasa.
Jujur saja,
kadang saya iri juga pada mereka yang rileks-rileks saja terhadap urusan
berbuka puasa. Tidak ada peristiwa huru-hara persiapan berbagai menu yang
kelewat istimewa. Tidak ada nuansa-nuansa yang di-meriah-meriah-kan, atau
dengan acara khusus ngabuburit, atau mungkin semacam pengajian kultum-kultuman
menjelang berbuka. Ndak, ndak ada. Berbuka ya berbuka, tapi biasa saja.
Bahwa mereka
lapar dan haus itu pasti. Namanya juga manusia. Tapi toh, mereka berbuka ala
kadarnya. Asal membatalkan dan masuk beberapa tenggak minuman dan makanan,
cukup. Di kala saya gupuh dengan berbagai makanan yang harus satu persatu saya
jajal, barangkali mereka hanya segelas air putih dan gorengan saja sudah selesai.
Atau, kurma buat beberapa yang mengusahakan sunnah, katanya.
Saya menduga,
mereka-mereka inilah manusia puasa sejati. Dari caranya berbuka, tercermin ilmu
puasa itu sendiri, atau barangkali, bisa kita sebut juga, ilmu makan yang
sejati.
Wasiat Kanjeng
Nabi untuk ‘makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang’ adalah kesejatian
ilmu tentang makan, juga pada saat yang sama adalah ilmu tentang puasa. Tapi
toh, bagi saya, itu hanya berhenti pada pengetahuan dan informasi belaka. Tak
bisa lebih.
Ada jurang
yang memisahkan pengetahuan saya akan wasiat Nabi dengan ilmu yang menuntut
kemampuan menerapkan. Lha gimana, saya ini berbuka dengan konsep
‘makan ketika lapar dan terus makan meskipun telah kenyang’.
Sedangkan
mereka-mereka yang telah mencapai kedalaman ilmu puasa, barangkali berbuka
hanya karena pertimbangan kesehatan saja. Atau, memang karena syari’at menuntun
demikian. Sehingga, secara substansi, mereka tetap berpuasa meskipun telah
berbuka.
Sebab, esensi
dan tujuan dari puasa itu adalah pengendalian, maka sekalipun berbuka, tidak
kemudian menjadi ajang lepas kendali atau pelampiasan. Berbuka hanya satu pit
stop saja dari rangkaian puasa yang secara kontinyu berjalan dalam
tataran kesadaran, tidak berhenti hanya karena sudah bebas makan dan minum.
Dengan konsep
demikian, manusia puasa adalah manusia yang menerapkan manajemen pengendalian
diri. Pada apapun persoalan: makanan, karir, jabatan, kekayaan, kekuasaan, dan
lain sebagainya. Sebab melepaskan kendali pada semua perkara tadi sama halnya
dengan menghancurkan diri sendiri.
Sehingga,
kesuksesan para manusia puasa yang menyederhanakan berbuka dan masih terus
menahan diri setelahnya, semestinya akan berimbas pada ketangguhan pengelolaan
kehidupannya.
Pada
mereka-mereka yang mampu mengalahkan diri sendiri itulah saya betul-betul iri
karena bahkan hanya terhadap gorengan, siomay, es cao, pudding, bakmi, nasi
liwet, ikan pindang, sambel kentang, dan semacamnya, saya tergeletak dan selalu
kalah telak..
percik.id
BalasHapusMengevaluasi Puasa dari Gelaran Berbuka