PERCIK.ID- Sepulang shalat ashar tadi saya bertemu seseorang yang tampak tak biasa penampilannya. Ia ada di pelataran masjid, mondar-mandir kesana-kemari mengambil beberapa macam barang untuk dikumpulkan di undak-undak Masjid.
Saya berpikir, mungkin ia adalah salah satu peserta
iktikaf di masjid ini. Dan, hari ini hari terkahir Ramadhan, maka wajar jika ia
berkemas. Mengumpulkan barang bawaannya untuk dibawa kembali pulang.
Kepada para pelaku iktikaf yang benar-benar sampai mukim
begini, perasaan saya campur aduk. Ada perasaan penghormatan, tapi barangkali
lebih-lebih ada gejolak iri karena ingin tapi tak pernah bisa. Iya, iktikaf
buat saya baru sebatas keinginan. Tak mampu lebih jauh dari itu.
Maka, saya mendekat-dekat kepada pria tua itu. Ingin
rasanya curi-curi ilmu, atau setidak-tidaknya mencari jawaban atas penasaran,
gimana sih rasanya iktikaf di masjid.
“Pulang, Pak?” tanya saya sambil mencari posisi duduk di
undak-undak dekat tumpukan barang beliau.
“Iya, Mas.”
Jawaban beliau pendek, tapi menyenangkan. Sejak saya
membiarkan kumis tumbuh dan tak pernah memotongnya, baru beliau ini ada yang
memanggil saya dengan sapaan ‘Mas’. Alhamdulillah, masih tampak muda.
“Pulang kemana, Pak?”
“…”
Beliau cuma melihat saya sembari melempar senyum lantas embali
masuk ke Masjid untuk mengambil beberapa karung kosong. Entah kenapa hampir
semua yang beliau kumpulkan adalah wadah-wadah besar dan hampir semuanya
kosong: karung, kardus, plastik jumbo.
“Lho Pak, ini kemarin untuk wadah apa? Kok sekarang sudah
kosong semua? Bapak mau saya bantu? Daripada kecapekan lho, Pak.”
Lelah mendengar saya ngoceh, Bapak itu akhirnya duduk di
samping saya. Ia menghela napas panjang, seolah mengumpulkan tenaga untuk
berbicara.
“Itu karung isi pahala, Mas.”
“Maksud, Bapak?”
“Iya pahala. Saya ini Ramadhan yang sejak minggu kemarin
sudah dibilang akan pamit itu. Nah ini saya lagi siap-siap pulang. Pahala dari
Alloh sudah saya bagi-bagi sampai habis!”
“Ah, jangan bercanda dong Pak.. Bapak bisa aja!”
Dengan sok akrab saya tabok pundak beliau. Dan betapa
kagetnya saya ketika tangan saya tak mampu memegang pundaknya itu. Blus! Tembus!!
“….”
“Hehehe.. Kamu nggak usah takut. Saya ndak akan berbuat buruk kok.”
“…”
Lidah saya kelu. Saya diam untuk beberapa saat, tapi temenggengen
saya tak juga hilang. Baru pertama kali saya merasai sendiri pengalaman mistis
dan ghoib seperti ini. Sampai bahkan, ia pun tahu nama saya tanpa saya
memperkenalkan diri.
“Gimana puasa, Nggar? Lancar ya?”
“Alhamdulillah, Pak.. Lancar.. Eh ngapunten, Mbah.. Eh
Yai..”
Saya bingung harus memanggil beliau apa.
“Panggil saja, Om. Lebih akrab.”
“Eh..iya, siap Om..”
“Sebenarnya saya sedih juga harus meninggalkan kalian.
Setiap tahun, di akhir masa aktif begini, ketika saya harus kukut-kukut,
rasanya masih belum puas menemani kalian”
“Memangnya njenengan kurang puas kenapa, Pak?”
“Om!!”
“Eh..maaf, iya Om, kenapa kok kurang puas? Apa karena kurang lama? Kalau itu
sih saya juga sama.”
Saya berusaha tepo-tepo membagi perasaan yang sama
akan kehilangan kebersamaan ini.
“Halah Nggar, mosok iya?!”
“Iya, Om. Serius!”
“Yang saya tahu, sebenarnya orang ogah-ogahan kok ketemu
saya, Nggar. Apa enaknya juga menahan haus dan lapar. Kalau mereka bilang rindu
saya, dan sedu sedan akan kepergian saya, itu sebenarnya apa yang ditangisi?
Coba jawab jujur!”
“Saya ndak nangkep pertanyaan njenengan,
Om..”
“Orang bahagia memasuki Ramadhan karena isi karung yang
saya bawa itu kan, Nggar. Limpahan pahala yang dititipkan Alloh lewat saya
itulah target dan tujuan kebanyakan manusia saat bergaul dengan saya. Coba ada
pengumuman bahwa tidak ada pahala puasa, tadarus Qur’an, sholat tarawih, dan
Lailatul Qadr, apa ya mereka mau menganggap saya spesial? Apa mereka masih akan
merindukan saya kelak? Apakah mereka akan menampakkan kesedihan seperti ketika
saya akan pergi begini?”
“Nggg…nganu, ya nggak segitunya kok, Om.”
“Sudahlah, umur saya jauh di atas kamu, Nggar. Saya sudah
berinteraksi dengan jutaan manusia, bahkan jauh sebelum kamu ada. Kesedihan
saya ini berlipat bukan karena tak mampu lagi menemani, karena toh setiap tahun
saya akan datang kembali. Tapi saya ndak enak kepada Dia Yang Nitipi Pahala ini
Nggar.. Pahala ini sebenarnya kemesraan dariNya, tapi mayoritas manusia tak
mampu menangkap romantisme Alloh itu.”
“Iya, Om.. mungkin saya juga masih begitu..”
Om Ramadhan tersenyum bersamaan dengan petir menggelegar
yang menyambar-nyambar. Suasana tiba-tiba gelap pekat. Dan, ketika saya membuka
mata, ada wajah lain yang tampak sewot.
“Bangun! Tidur terus dari siang! Anaknya ditemenin, beli
kolak, es batu, gorengan. Udah mau buka!”
Istri saya membangunkan dengan ‘kemesraannya’ yang
ternyata menjelma petir tadi.
Lidah saya kembali kelu.
www.percik.id
BalasHapusPerjumpaan dengan Om Ramadhan
(link)