PERCIK.ID- Pagi itu, sembari mengikuti rangkaian acara ulang tahun Negara, Ibuk mengirimkan pesan ke grup WA keluarga yang isinya adalah gambar lencana emas dengan caption: “Alhamdulillah Satya Lencana Karya Satya, makasih untuk do’a semuanya ya.”
Jarang-jarang saya haru
baca pesan WA, kecuali yang bernuansa begitu. Apalagi, pelakunya adalah Ibuk.
Perasaan haru itu, kemudiaan menjadi bertumpuk-tumpuk.
Satya Lencana Karya
Satya emas diberikan kepada abdi negara dengan masa pengabdian tiga puluh
tahun. Jabarkan istilah pengabdian ini menggunakan rujukan Mbah Gugel atas penghargaan
tadi: melaksanakan tugasnya dengan kesetiaan, kecakapan, kejujuran,
kedisiplinan, dan -yang terpenting- dalam jangka waktu tertentu. Ya, Ibuk sudah
mengajar lebih lama dibandingkan masa hidup saya, anaknya.
Tiga puluh tahun
bertahan dengan pekerjaan yang sama. Terus menerus. Tanpa henti. Tanpa jeda.
Dan saya kira, saya tak perlu menuliskan detail perjuangan yang sekali waktu
beliau ceritakan, atau saya sendiri saksikan. Untuk bertahan dengan jangka
waktu sekian lama saja, barangkali hampir mustahil saya lakukan.
Mudahnya, coba kalau
Anda ada kenalan guru yang sudah hampir masuk usia pensiun, bertanyalah berapa
gaji yang dulu diterimanya? Apakah masuk dengan pengeluaran yang harus
ditanggung? Lantas, kenapa juga harus bertahan dengan waktu sekian lama?
Saya ingat, selepas SMA
dan akhirnya harus kuliah, Ibuk sempat meng-ultimatum keluarga, kalau setelah
ini makan harus seadanya. Tahu tempe harus biasa. Fokus pengeluaran keluarga
ada pada pendidikan kuliah yang akhirnya harus saya pilih karena gagal masuk
akademi militer.
Jadi, jangankan mikir yang tinggi-tinggi,
urusan manajemen ekonomi seorang guru masih ada pada pengaturan menu makan
sehari-hari.
Seorang kawan yang
bercita-cita menjadi dosen pernah bilang pada saya dengan nada setengah pesimis,
“Sudahlah, Nggar, negara kan nggak serius membidani pendidikan..”
“Maksudnya?” saya
pura-pura bertanya di tengah persetujuan batin hati saya.
“Lho ya ngapain jadi
guru. Dengan gaji segitu, kamu kira akan ada orang berpikiran waras yang mau
mengambil jalan hidup jadi guru selama hidupnya? Kenapa nggak jualan soto aja,
atau, ya, ngelamar kerja di tempat-tempat lain kek..”
“Wah yo jangan gitu
lah.. Ibukku wis telung puluh tahun yo waras lho, Bro..”
“Eh..bukan..maksudku ya
normalnya orang kerja kan ya mikir soal gaji dan pendapatan to Nggar.”
“Oh iya saya setuju sih
kalau itu. Cuma memang pekerjaan guru ini kan harusnya memang tidak bisa dipandang
dari kacamata keprofesian saja. Dia mustinya termasuk suatu perkara atau urusan
yang memang harus dikerjakan sebagai bagian dari amanah kehidupan.”
“Ngomong apa sih?”
“Ya jadi guru ya jangan
karena cari gaji.”
“Terus gak dibayar?!
Gila apa!! Hidup pakai uang Bos!”
“Sik to...tenang.
Ya tetap dibayar. Cuma bukan oleh anak didik. Bahwa Anda mengajar, itu fokus
saja pada transfer ilmu, mendidik murid, menjadikan mereka pintar, dan
seterusnya. Jangan lakukan itu untuk cari duit. Nanti duitnya ada lagi yang
mikirin, tapi yang jelas ndak boleh sampean.”
Saya melanjutkan,
“Ibarat Anda bertamu, apa iya fokusnya mau cari makan? Bertamu ya bertamu saja,
silaturahim dengan tuan rumah. Tapi jangan lantas sesampainya di sana, Anda
order menu ini itu. Disuguh itu sudah urusan tuan rumah pada Anda. Etika
kemanusiaan yang mereka lakukan pada sampean.”
“Gayamu Nggar, wong
dulu kamu sering ke rumahku buat minta sarapan ae lho.”
“Hehehe...tapi
pendidikan kan gitu to harusnya. Negara menjamin
kecukupan dan kesejahteraan guru karena guru sudah mendidik, memfokuskan
tenaga, waktu, pikiran, dan hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa. Maka
jaminan pada ‘para relawan’ ini musti ditanggung oleh negara.”
“Berarti pernyataanku di
depan tadi benar kan Nggar?”
“Yo
pikiren dhewe..“
“Cuma berat juga sih, di
jaman kayak gini ada orang mau kerja dengan kesadaran begitu.”
“Lho jangan pesimis
dong..” sergah saya..
“Jangankan guru, Nggar,
sekarang imam-imam masjid aja sewan (sewaan) kok.
Lha itu apa malah ndak lebih kacau lagi.”
Dia menimpali lagi, “Negara
memang belum bisa ngopeni relawan-relawan yang menghidupi pendidikan,
juga agama. Ya, disyukuri aja, Nggar. Dia masih hadir di acara-acara seremonial
sepuluh tahunan kayak penghargaan buat Ibukmu itu.”
“…”
percik.id
BalasHapusEnggar Amretacahya
Negara dalam Urusan Seremonial