PERCIK.ID- Banyak orangtua berpandangan bahwa gadget merupakan alat tidak
sehat yang akan berefek buruk bagi anak mereka di masa mendatang. Tapi, meski
berpandangan demikian, orangtua seringkali tetap memberikan akses gadget pada
anak mereka dengan alasan “terpaksa” dan “ mau bagaimana, sudah jamannya.”
Sampai di sini, sebaiknya kita kunci dulu alasan “sudah jamannya”.
Sepengalaman saya yang tumbuh di desa, pelajaran TIK
(Teknologi Informasi dan Komunikasi) selalu punya rasa berbeda dibanding
pelajaran yang lain. Dalam hal ini barangkali TIK hanya sejajar dengan
pelajaran olahraga. Ketika pelajaran pada umumnya dikuasai oleh anak-anak
pintar, TIK (juga olahraga) berbeda. TIK dikuasai oleh anak-anak berpengalaman.
Nilai tertinggi TIK bisa dibilang hanya diperebutkan oleh anak-anak yang di
rumahnya tersedia komputer. Bagi mereka yang punya akses komputer, mereka tidak
hanya meninggalkan kemampuan anak-anak yang pada umumnya men-shut down
saja tidak bisa, tapi sudah sampai pada level gelut ilmu dengan gurunya.
Mengapa? Karena tekhnologi itu soal praktik, sulit dikuasai hanya dengan teori
dan meraba-raba belaka.
Sayangnya, nilai teori dan praktik sering tidak sejajar.
Dalam pelajaran olahraga misalnya, anak-anak yang jago sepakbola tidak
mendapatkan nilai lebih yang signifikan. Anak-anak yang tidak bisa menjawab
teori menendang, tapi punya tendangan pisang seperti David Beckham atau
tendangan roket macam Roberto Carlos tidak bisa mengatrol nilainya di rapot
dengan optimal. Dalam banyak pelajaran, nilai praktik sering kalah jauh dengan
teori. Ini barangkali salah satu alasan kenapa kita tidak pernah punya
olaragawan yang kaliber, sebab pelajaran yang sifatnya praktik tidak banyak
mendapatkan nilai lebih dan terus saja kalah perhatian.
Kembali ke masalah TIK. Umumnya anak-anak jaman dulu
tidak punya akses dan tidak terbiasa dengan tekhnologi. Maka TIK selalu
dikuasai anak-anak yang bisa berkutat dengan gadget dan komputer setiap hari.
Berkaca dari ketimpangan yang disebabkan akses tersebut,
semestinya anak-anak sekarang -yang tidak lagi timpang dengan kepemilikan akses
tekhnologi- sudah bisa berada dalam level yang rata-rata air untuk dieksplore
kemampuan tekhnologi mereka. Sebab kalau diraba-raba, masalah tekhnologi adalah
masalah masa depan.
Sebagai anak kecil yang bisa dibilang nirtekhnologi,
banyak dari kita yang merasakan masa-masa tidak bisa men-shut down dan
bertahun-tahun mengira bahwa cara mematikan komputer adalah dengan menekan
tombol power. Maka kita agak sedikit kagok dan terheran-heran dengan
tekhnologi sekarang, salah satunya dengan sistem belanja yang tidak perlu
datang. Tinggal check out, barang sampai. Sesuatu yang di masa lalu
barangkali sulit dibayangkan akan terjadi.
Di masa mendatang tentu akan lebih banyak hal baru dengan
kemajuan tekhnologi yang ada. Maka momentum anak-anak dapat akses tekhnologi
sejak dini seperti sekarang adalah medium peningkatan kemampuan di masa depan
yang pas. Dalam perkara ini, tugas orangtua memantau dan mengarahkan.
Kalau ada orangtua yang berpandangan bahwa anak-anak
tidak baik memegang gadget sepertinya bukan murni keburukan gadget itu sendiri,
tapi soal orangtua yang tidak bisa menguasai gadget sebab kalah dengan anak
yang punya jurus merengek dan menangis.
Toh sedikit akses yang diberikan kepada anak itu sepertinya sudah membuat
banyak orangtua kalah canggih dalam mengoperasikan gadget dengan anak mereka.
Di masa mendatang, ketimpangan ini jelas akan semakin tampak.
Yang barangkali agak dikhawatirkan oleh orangtua adalah kemudian gadget menjadi candu. Tapi saya yakin, orangtua sudah punya cara yang cepat dan tahu cara menahan kemungkinan candu tersebut sebab tahu benar karakter anaknya. Sekali lagi, tugas orangtua memantau dan mengarahkan.
Tekhnologi bagi masa depan anak-anak kita tidak akan
pernah terbendung. Nyatanya opsi bagi kehidupan kita dan anak-anak kita di era
pandemi seperti sekarang ya gadget. Mau tidak mau, ingin tidak ingin.
Tekhnologi adalah tuntutan masa depan. Lihatlah, aktivitas kita saat ini ada di
layar kita. Kita hidup dari layar ke layar. Di depan layar kita bekerja, di
depan layar pula kita mencari hiburan. Suatu saat, dunia anak-anak kita juga
akan ada di depan mata mereka.
Kita tidak bisa terus berpandangan bahwa mengoperasikan
tekhnologi sebagai main-main belaka. Kita sudah melihat hasil dari aktivitas
anak-anak berkaitan dengan olahraga yang tidak pernah dipandang sebagai urusan
masa depan dan main-main yang tidak serius. Olahraga terus hanya dianggap
sebagai main-main an sich. Hasilnya olahraga kita tak pernah banyak
unjuk gigi di pentas dunia, dan kita lebih suka menikmati olahraga negara lain.
Bukan tidak mungkin, pandangan bahwa anak-anak yang mengoperasikan gadget hanya
dianggap sebagai main-main juga akan bernasib sama seperti masa depan olahraga
kita.
Kita tidak bisa terus berpangku pada teori dan
mengesampingkan praktik bertekhnologi yang kini sudah ada di depan mata kita.
Saatnya anak-anak berhadapan langsung tekhnologi untuk hasil yang maksimal. Alih-alih
menghindarkannya sebab takut efek buruknya, orangtua barangkali malah
menghindarkannya dari maksimalisasi kemampuan tekhnologi anaknya. Toh ini
sesuai dengan alasan orangtua yang memberikan gadget sebab “sudah jamannya”.
Catat! Sudah jamannya.
Sekali lagi, kurang lebih TIK sama halnya dengan
olahraga. Anak-anak yang terkenal pintar di kelas bisa saja menjawab teori
sepakbola soal “sikap otot leher yang benar dalam teknik dasar menyundul”. Tapi
ketika praktik, jangankan menyundul, kena bolanya saja tidak.
www.percik.id
BalasHapusAhmad Yusuf Tamami
Dunia Depan Mata