PERCIK.ID- Menjelang peringatan hari santri 22 Oktober 2016, aku berkesempatan sowan di kediaman salah satu sesepuh kota Malang yang pernah diangkat menjadi menteri agama era Presiden KH. Abdurrahman Wahid masa jabatan 1999-2001 serta pernah menjabat rektor Unisma Malang tahun 1989-1992 dan 1992-1998. Beliau adalah Prof. KH. Tholhah Hasan.
Bagaimana kesan kiai terhadap peringatan hari santri nasional?
Bagaimana pandangan kiai tentang santri? Apa tantangan santri jaman dulu dengan
sekarang? Apa pesan kiai untuk seluruh santri nusantara di hari santri?
Melihat adanya peringatan hari santri, saya menganggap itu bisa
menjadi bahan evaluasi mengapa santri dari dulu sampai sekarang masih eksis.
Peringatan dalam bahasa Arab adalah dzikro dan dzikro selalu
memberi manfaat bagi orang mukminin. Kita bisa mengamati di sekeliling banyak
santri yang berhasil dan banyak juga yang kurang berhasil. Inilah bahan
evaluasi kita.
Berbicara tentang santri, ada dua katagori. Ada santri yang berhasil
dan tidak berhasil. Yang perlu kita ketahui bagaimana kira-kira santri itu
dikatakan berhasil atau tidak berhasil? Ada santri yang lama mondokya sama,
guru dan kiainya pun sama tapi saat lulus menjadi orang yang berbeda. Ada
beberapa latar belakang yang memepengaruhi hal tersebut. Kita harus tahu,
prilaku santri di pondok pun juga berbeda-beda, ada yang suka mengaji, ada yang
suka memasak, ada juga yang suka tidur, dan lain-lain. Perbedaan prilaku, sikap
dan kebiasaan selama jadi santri banyak mempengaruhi tingkat keberhasilan dan
kegagalan.
Sayyidina Ali berkata, ada tiga penyakit yang bisa menyebabkan
faktor kegagalan, usaha apapun akan menuai nasib gagal jika memiliki tiga
penyakit ini, yaitu: Fudhulul Naum (banyak tidur), Fudhulut Tho’am
(banyak makan), Fudhulul Kalam (banyak berbicara). Kalau ketiga ini
terkumpul dalam pribadi santri, maka hidupnya akan jarang berhasil. Yang banyak
berhasil adalah santri yang ahli tirakat, puasa, ahli qiyamul lail dan suka
begadang untuk muthola’ah kitabnya. Itulah kebiasaan baik yang hanya
dimiliki beberapa santri saja di zaman sekarang.
Imam Ghozali berkata, ilmu itu semua dari Alloh swt, hanya saja
jalan memberikan kepada hambaNya yang berbeda-beda. Cara memperoleh ilmu yang
paling benar adalah bitta’alumi wa taqorrub ilAlloh yaitu dengan belajar
dan mendekatkan diri kepada Alloh swt. Belajar saja tidak cukup tanpa
beribadah. Hasilnya lain jika ada santri yang suka belajar dan suka mendekatkan
diri pada Alloh swt dengan santri yang hanya belajar saja tanpa taqorrub
ilalloh. Karena hakikat ilmu itu berasal dari sang Ilahi. Lihatlah, Santri
sekarang lebih mengandalkan belajarnya saja dan mengabaikan dekat kepada Alloh
swt. Padahal hampir semua Ulama’ bisa menjadi tokoh besar karena menjalani ta’allum
wa taqorrub ilalloh selama di pondok.
Imam Yusuf Ulama’ besar sufi ahli tasawwuf membagi ada tiga
macam tingkat ilmu itu yang diberikan oleh Alloh swt kepada hambaNya.
Pertama: Ilmun Jaliyyun. Ilmu yang kelihatan. Seperti
ilmu jahit, masak, servis sepeda, dan lain sebagainya. Semua orang bisa
mendapatkan ilmu. Sayaratnya sudah disebutkan dalam Ta’lim Mutaalim yang
dikumpulkan dalam nadhom alala tanalul ilma illa bisittatin saunbika an
majmu’iha bibayanin, dzakain wa hirsin wash tibarin wa bulghotin wa irsyadi
ustadzin wa tuli zamanin. Dzaka’ (kecerdasan), Hirsun
(kemauan), Ishtibarun (kesabaran), Bulghoh (biaya), Irsyad al
Ustadz (ada guru yang membimbing), Thula Zaman (lama dalam menuntut
ilmu). Kalau semua ini dikerjakan maka ilmu jaliyyun pasti bisa didapat.
Kedua: Ilmu khofiyyun. Ilmu yang samar. Ilmu yang didapat
karena taqorrub ilalloh. Seperti rajin sholat, mengaji, qiyamul lail,
dan lain-lain. Santri yang menjalani pendekatan itu pasti dianugrahi Alloh swt
ilmu khofi. Alloh itu adil. Tidak mungkin santri yang tirakatnya berbeda menuai
hasil yang sama. Ini juga yang mempengaruhi mengapa kondisi santri saat keluar
dari pondok berbeda beda.
Ketiga: Ilmu ladunni, ilmu yang tergantung kepada siapa Alloh
swt akan memberikannya. Hanya Dia yang tahu dan yang berhak memberikan langsung
ilmu itu. Seperti ilmu yang dimiliki Nabi Khidir dan Lukman Hakim yang namanya
diabadikan dalam Al-Qur’an. Orang yang memiliki ilmu laduni hatinya akan dibuka
oleh Alloh swt untuk mengetahui sesuatu. Mereka hanya orang yang memiliki sikap
atau prilaku yang tidak dimiliki orang lain. Contoh Lukman Hakim, hampir semua
orang mengatakan dia bukan Nabi bukan Rasul tapi hanya disebutkan lelaki
shaleh. Sampai temannya heran dan bertanya, “Wahai Lukman bagaimana kamu bisa
begini? Padahal kita belajar dari guru yang sama dalam kurun waktu yang sama
pula. Tapi mengapa kamu memiliki keistimewaan?”
Ternyata temannya menyelidiki bahwa semenjak baligh Lukman sama
sekali tidak pernah berkata bohong. Sekarang apakah ada santri yang tidak
pernah berbohong? Bahkan ada juga yang ustadznya pun berbohong. Seakan-akan di
zaman sekarang berbohong adalah kuncinya rezeki kalau ingin mendapat rezeki
harus dengan berbohong. Inilah sebab mengapa Lukman Hakim mendapat ilmu laduni.
Merekalah orang pilihan yang memiliki amal dimana orang lain tidak memilikinya.
Rosululloh saw. pernah ditanya seorang sahabat yang datang dari
jauh untuk meminta fatwa demi kebaikan agamanya. Jawab Rosululloh saw. “La
taghdob!” Jangan marah. Zaman sekarang marah dan bohong sudah menjadi
tabiat yang biasa bahkan menjadi modal. Padahal kunci memperoleh ilmu laduni
yaitu jangan berbohong dan jangan marah.
Kalau ini bisa dikerjakan oleh santri maka Alloh swt. akan
memberikan apa yang ia harapkan. Tantangan santri sekarang dengan santri dulu
sebetulnya sama namun berbeda model. Orang yang tidak bisa menghadapi tantangan
adalah orang yang kalah dengan hawa nafsu. Orang yang bisa mengalahkan dan
mengendalkan hawa nafsunya ia akan bisa menghadapi tantangan. Baik zaman
sekarang ataupun dulu. Zaman Nabi dulu tantangannya juga hawa nafsu. Pesan Al-Qur’an
bahwasanya setan yang sulit sekali kita hadapi adalah hawa nafsu. Meski ada
godaan macam-macam tapi jika kita sudah bisa mengalahkan hawa nafsu maka tidak
ada yang bisa mempengaruhi kita.
Firman Alloh, La yadhurrukum man dholla idahtadaitukum.
Tidak akan membahayakan dirimu pengaruh dari orang-orang yang tersesat itu
kalau kamu telah mendapat hidayah. Caranya adalah dengan mengalahkan hawa
nafsu.
Pesan untuk santri se-Nusantara, santri harus punya tanggung
jawab kepada agama, masyarakat, bangsa dan Negara. Santri harus betul betul
menjadi benteng. Sebab santri dulu yang sekarang menjadi ulama’ besar itu juga
mempunyai rasa tanggung jawab terhadap agama, masyarakat, bangsa dan Negara.
Banyak orang radikal tidak memiliki tanggung jawab. Hanya berani mencintai agamanya tapi tidak mencintai bangsanya. Seperti memerangi saudara setanah air sendiri dengan bom yang terjadi di Syiria, Afganistan, Irak, berapa ribu orang Islam yang dibunuh orang islam sendiri? Karena sikap mereka la yaqbalu khata’in nafsihi wa la yaqbalu showab minal ghoyah, tidak menghiraukan kesalahan kalau itu dari dirinya sendiri, dan tidak menerima kebenaran kalau itu dari orang lain. Mereka menganggap seakan akan baik, pintar dan benar sendiri. Dan menganggap orang lain salah. Akhirnya yang tidak baik mereka anggab bid’ah, kafir dan lain sebagainya. Inilah penyakit dalam Islam yang sekarang berkembang. Kalau di Indonesia santri santri mau bersatu bertanggung jawab membentengi agama, umat dan bangsanya insya Alloh Indonesia akan jaya.
www.percik.id
BalasHapusAgus Ibrohim
Kesuksesan Seorang Santri