PERCIK.ID- Tulisan memiliki kekuatan yang barangkali tidak banyak disadari. Bukti kekuatan itu adalah dibredelnya berbagai majalah dan media massa untuk meredam kekuatan tulisan "negatif". Sepanjang sejarah Indonesia, Orba menjadi lakon penggebosan kekuatan itu. 32 tahun pemerintah yang mengerikan untuk media dan penulis-penulis "negatif".
Pada kebijakan yang
membuat tekanan pada kekuatan tulisan tersebut bukan tanpa perlawanan. Meski
akhirnya kalah dalam keputusan yang jelas berat ke pemerintah. Kekalahan
putusan itu bagi pemegang tulisan bukan berarti ketundukan. Goenawan Muhammad
tegas menyatakannya ketika Majalah Tempo dibredel, “Kita boleh kalah, tapi
tidak boleh takluk.”
Salah satu sosok yang
paling ikonik dalam penindasan terhadap kekuatan tulisan adalah Pram.
Ia satu dari sekian
penulis yang menjadi korban kebijakan pemerintah menggerus arus bersebrangan.
Kegilaan akan perjuangan melawan kekuatan tulisan diaksikan dengan tidak hanya
mengasingkannya ke Pulau Buru, tapi juga membakar perpustakaaan, kertas-kertas
kerja, termasuk beberapa naskah buku yang belum sempat diterbitkan. Naskah yang
ditulis dengan susah payah, memeras ide, menghabiskan waktu, dan merelakan
hal-hal lain tertinggal demi tulisan.
Pada titik inilah, kita
mesti menggali kesadaran diri, menggali usaha dan perjuangan lebih dalam. Bahwa
penulis macam Pram berada di garis perjuangan dengan tulisannya. Sedang kita
masih sering bertekuk lutut dengan perlawanan terhadap kemalasan dan
"nanti saja".
Terlepas dari kesalahan
atau kebenaran Pram, ia hidup dengan bergelimang aksara yang tidak bisa
dianggap biasa dan bisa ditiru oleh sembarang orang. Menulis bukan pekerjaan
mati yang bisa ditaklukan oleh tiap orang yang hidup. Ia berarti dengan caranya
dan punya kemungkinan tak pernah sia-sia selagi masih ada. Selagi masih ada?
Ya, selagi masih ada!
Selagi masih ada itulah
yang menandakan kekuatannya masih pula ada. Ini yang menjadi alasan tulisan
tidak hanya dimusuhi, tapi juga dimusnahkan. Efek dari itu, Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, Hikayat Siti Mariah, Memoar Oei
Tjoe Tat, dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang ditulis oleh Pram pada
akhirnya hanya beredar di bawah tanah. Orang-orang takut membawa dan memiliki,
tapi bagi yang peduli, kekuatan tetap harus disimpan dan diabadikan.
Seperti kata Pram,
"Menulis adalah pekerjaan keabadian."
Tulisan pernah dan masih
akan punya peran menghidupkan manusia-manusia mati dan meniadakan orang-orang
yang hidup. Ketika segala kemodernan tiada, listrik lenyap, komputer tak ada,
gadget terbuang, tulisan akan tetap ada dan hidup.
Sebab di jaman sebelum
segala yang kini merasa dibutuhkan untuk menulis, tulisan telah ada, tidak
terawali kemodernan dan tidak diakhiri pula olehnya.
Sekali lagi, seperti kata Pram, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."
www.percik.id
BalasHapusAhmad Yusuf Tamami
Pram dan Kekuatan Tulisan