PERCIK.ID- Dalam satu penuturannya, Joko Pinurbo pernah mengatakan bahwa ketika menulis puisi “Celana Ibu”, ia sama sekali tidak mendapat kritik atau teguran dari petinggi gereja soal tulisannya itu. Sebab salah-salah tulisan yang bersinggungan dengan perkara keyakinan itu bisa berbuntut panjang dan diurak-urak banyak orang. Tapi itu tidak terjadi padanya. Dalam puisinya, Joko Pinurbo menulis,
Maria
sangat sedih
menyaksikan
anaknya
mati
di kayu salib tanpa celana
dan
hanya berbalutkan sobekan jubah
yang
berlumuran darah.
Ketika
tiga hari kemudian
Yesus
bangkit dari mati,
pagi-pagi
sekali Maria datang
ke
kubur anaknya itu, membawa
celana
yang dijahitnya sendiri
dan
meminta Yesus mencobanya.
“Paskah?”
tanya Maria.
“Pas
sekali, bu!” jawab Yesus gembira.
Mengenakan
celana buatan ibunya,
Yesus
naik ke surga.
Ia
sendiri melihat ada celah dalam tulisannya tersebut sebagai sebuah tulisan yang
rentan dengan pro dan kontra. Sebab melihat apa yang terjadi
sebelum-sebelumnya, banyak karya sastra yang bersinggungan agama dan ketuhanan
pada akhirnya harus berbuntut kritik, bahkan tuntutan macam-macam. Nasib baik,
ia tak mendapat perilaku semacam itu.
“Di dalam
dunia sastra Indonesia sudah ada beberapa kasus di mana orang menciptakan karya
sastra yang mengandung sensitifitas agama, lalu itu menjadi masalah. Tetapi di
kalangan penulis-penulis yang kristen katolik seperti saya, hambatan seperti
itu ternyata tidak pernah ada.”
Sampai di
sini, berdasar redaksi apa yang diungkapkan oleh Joko Pinurbo tersebut, saya
ingin menandaskan bahwa yang mempermasalahkan karya sastra yang sensitif itu pasti
ada sebagian yang umat Islam. Atau mungkin bukan sebagian, tapi seringkali dan
kebanyakan memang demikian.
Mau tidak
mau, kita memang mesti lapang dada menerima andaikata Joko Pinurbo secara tegas
mengatakan bahwa yang sering ribet dan ribut itu umat Islam. Toh
seringkali nyatanya memang demikian. Meski di sisi yang lain, ada kemungkinan alasan
keributan itu terjadi bukan murni sebab masalah itu sendiri, tapi sebab
sentimen perbedaan bendera golongan.
Kita tahu
bahwa banyak irisan dalam tubuh Islam sebab berbagai perbedaan antar golongan
satu dengan golongan yang lain. Ini nyata dan mungkin tidak akan bisa diurai.
Toh jauh hari Rosululloh saw. telah memberikan gambaran Islam akhir zaman yang
akan terpecah menjadi 73 golongan. Faktanya, sampai saat ini golongan dalam
tubuh Islam bahkan lebih besar dari itu. Yang kemudian menjadi masalah adalah adanya
polarisasi dan perseteruan dengan mempertentangkan berbagai perbedaan yang ada.
Ini jelas sekat tebal yang menjadikan umat Islam cenderung tidak rukun.
Sesungguhnya
perbedaan dalam berbagai hal yang ada dalam Islam bukanlah sesuatu yang berarti
dan tidak menjadi masalah sebab perbedaan merupakan sesuatu yang niscaya dan
menjadi sunnatulloh kehidupan. Yang menjadi masalah adalah ketika perbedaan itu
menciptakan perseteruan. Jika tidak, semestinya perbedaan itu menjadi keindahan
tersendiri.
Saya
sendiri memiliki salah seorang keluarga dari bapak yang secara mendasar
memiliki perbedaan mencolok dalam banyak hal. Di luar sana, persinggungan
antara apa yang keluarga amaliahkan menjadi sangat dipertentangkan oleh
kelompoknya. Akan tetapi, ketika berkumpul di forum keluarga, bahkan ketika
memperbincangkan beberapa hal yang menjadi perbedaan antar kita, tidak ada perseteruan
berarti. Pembicaraan begitu dingin dan tenang, meski barangkali tidak menemukan
titik temu persamaannya, tapi usaha yang dicari adalah titik kebenaran bersama.
Pembicaraan semacam itu menjadi khazanah keilmuan tersendiri, tanpa perlu ada
cek-cok macam-macam.
Ada pula
cerita dari sepupu yang baru pindah ke suatu perumahan. Di sana ada seseorang
yang secara terang-terangan menyatakan identitas diri beserta golongan yang
dianut. Secara mendasar jelas banyak perbedaannya. Tetapi faktanya, mereka
tetap terbuka dengan mengajikan Qur’an anak-anak mereka ke sepupu saya itu. Indah,
perbedaan yang tetap indah.
Dengan ini
kita melihat bahwa perbedaan akan mencolokkan perseteruan tatkala mengurusi
ranah-ranah sensitif yang tidak semestinya dipertentangkan ke publik. Toh
kenyataannya menjadi biasa saja ketika menjadi obrolan santai. Perbedaan prinsip
ini masalah keyakinan dan pilihan. Ketika tidak memasuki dan merecoki keyakinan
dan pilihan orang lain, tentu tidak akan menjadi masalah apa-apa. Pilihanmu-pilihanmu,
pilihanku-pilihanku.
Setidaknya,
setidaksetujuan atas perbedaan yang sedemikian privat serta sensitif hanya
menjadi pembicaraan dalam ruang tertutup. Misalnya sebuah golongan membicarakan
golongan yang lain dalam perbedaan yang dianggap salah ini tidak dalam rangka
merendahkan, tapi sekadar dianggap salah dalam perspektif golongan tertentu,
rasanya hal ini akan tetap mafhum dan tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah
adalah dianggap salah dan direndahkan, padahal golongan tersebut juga punya
prinsip dan dasar tertentu yang kadang tidak dipahami secara utuh oleh golongan
yang lain.
Perbedaan
dalam tubuh Islam ini tidak jauh beda dengan perbedaan antar agama yang bahkan
jauh lebih sensitif lagi. Jika sisi-sisi perbedaannya diketengahkan ke publik
dengan blak-blakan, tentu akan panas sebab irisannya begitu menyakitkan. Tapi jika
prinsip-prinsip itu menjadi pembicaraan dan pembelajaran di ruang tertutup tentu
menjadi beda dan sah. Ini urusan prinsip dan harga diri.
Intinya, memilih Islam yang mana saja itu sebenarnya tidak apa-apa asal prinsip-prinsip perbedaannya tidak dikemukakan dan tidak menjadi alat untuk menyalahkan dan “jotos-jotosan”. Sebab yang tak kalah urgen dari memegang prinsip kebenaran adalah memegang prinsip kerukunan.