PERCIK.ID- Wala tansa nasibaka minad
dunya. Sepotong firman Alloh yang
direkam dalam Surat al-Qoshosh ayat 77 itu kita dapati diterjemahkan dengan, “dan
janganlah kamu melupakan bagian [kenikmatan] dunia.”
Apa keterkaitan antara nasib dan kenikmatan atau bagian atas dunia? Benarkah itu terjemah yang presisi atas maksud Alloh menyuruh kita semua untuk menemukan nasib? Adakah Alloh bermaksud menyuruh kita untuk tidak lupa menikmati dunia? Kalaupun iya, adakah cara menikmati dunia yang Alloh maksudkan sama dengan yang kita persepsikan?
Sebelum itu, perlu
kita ketengahkan kembali, bahwa tafsir bukanlah kebenaran. Apalagi terjemahan.
Kebenaran ayat atau firman Alloh yang mutlak tahu adalah Alloh. Terjemah dan
tafsir adalah usaha manusia untuk mencoba menuju kebenaran tersebut. Namun,
sekali lagi, ia bukanlah kebenarannya. Letak kebenaran ada pada Alloh.
Maka, pendekatan
terbaiknya kemudian adalah utilitarian. Apapun saja yang Anda
artikan, terjemahkan, tafsirkan dari Qur’an, selama itu bermanfaat dan
bermaslahat untuk Anda dan sekitar, maka itu baik. Titik tekan utamanya bukan
ketepatan tafsir, melainkan kebaikan output atas tafsir tersebut. Orang-orang
alim menyebut ini sebagai taddabur.
Lantas, bagaimana
taddabur atas nasib itu? Apakah nasib itu sebenarnya? Apa beda ia dengan
takdir? Adakah letak kontribusi manusia pada keduanya? Ataukah mutlak semuanya
hanya ada pada genggaman Alloh, dan manusia sekadar menjalaninya belaka?
Tapi Alloh menyuruh
menemukan nasib, maka berarti di sana ada kemungkinan kontribusi kerja manusia.
Sebagaimana hidup ini dipenuhi hubungan dialektis antara Alloh dengan manusia
yang tercermin dalam banyak peristiwa. Manusia menanam, Alloh yang takdirkan
mengeluarkan padinya. Tanpa usaha menanam oleh manusianya, mosok Alloh
akan datangkan beras jadi ke dapur istri njenengan? Ya ndak kan.
Tapi apakah nasib
itu? Nasibaka minad dunya, yang seperti apa? Apakah ia sama dengan
takdir keluar tidaknya padi tadi? Atau gagal panen karena serangan hama? Atau
gonjang-ganjing karena pandemi corona? Sama kah nasib dengan itu semua?
Nasib barangkali
lebih berupa urusan personal setiap manusia dengan kehidupan, atau dengan
Tuhan. Perintah Alloh untuk menemukan nasib, bisa kita artikan dengan kewajiban
bagi setiap manusia untuk menemukan koordinat posisi dirinya dalam hidup ini.
Dijadikan apa dia dalam mekanisme kehidupan yang dirancang Tuhan.
Apakah ia dijadikan
rumput atau pohon kelapa. Ataukah ia semut apa singa. Mungkinkah ia ayam atau
burung elang. Yang mana nasib Anda?
Ini bukan lagi
perkara ketepatan kita menemukan diri sendiri dalam rangka menentukan presisi
tumbuh kembang atau pendidikan yang sesuai dengan diri kita. Bukan, bukan saja
soal itu. Lebih penting dari usaha menemukan nasib ini, adalah keseriusan manusia
untuk memenuhi amanah kehidupan. Alloh ciptakan kehidupan dengan grand
scheme yang sempurna, termasuk di dalamnya ada komponen manusia dengan
berbagai fadhillah atau nasibnya masing-masing.
Maka, setiap
komponen itu harus mateg aji pada posisi dan perannya
masing-masing, dalam rangka berjalannya mekanisme kehidupan itu sendiri. Jika
Anda knalpot, ya jadilah knalpot yang baik. Tidak perlu cemburu pada dashboard
yang setiap saat dibersihkan karena dekat dengan pemilik kendaraan. Mobil hanya
bisa berjalan jika dashboard menjadi dashboard, ban menjadi ban, setir menjadi
setir, knalpot menjadi knalpot.
Celakanya, sekarang
ini, bahkan kita tak lagi bergulat soal kecemburuan nasib satu orang dengan
orang lain. Kita, hari-hari ini, diseragamkan nasib kita melalui pendidikan,
melalui kebudayaan modern dengan media sosialnya yang menampakkan
kesempurnaan-kesempurnaan, hingga menenenggelamkan set-up awal
diri kita sendiri.
Tak lagi tampak oleh kita, nasib kita sendiri. Terkubur dalam oleh keadaan, pesan Tuhan yang semestinya dengan serius kita usahakan.