PERCIK.ID- Tahun 2021 ini menjadi tahun pemilihan kepala desa (pilkades) serentak di sini. Entah hanya di tempat saya tinggal atau di kabupaten lain juga tengah dilaksanakan. Ratusan desa melaksanakan pesta demokrasi, ratusan calon kepala desa unjuk gigi untuk merealisasikan visi dan misinya melalui kursi nomor 1 di desa. Berbagai motivasi para calon kepala desa (kades) untuk mengikuti kontestasi bergengsi ini. Bagaimana tidak bergengsi, lha wong ini adalah panggung untuk mengukur kompetensi apakah diri ini layak dan disenangi untuk menjadi orang yang memimpin masyarakat sak ndeso.
Syahdan,
politik di tingkat pedesaan ini menjadi sebuah intrik sekaligus strategi yang nyerempet
dengan hal-hal yang tidak dianjurkan oleh syariat agama: suap-menyuap, taruhan,
beli suara, atau black campaign.
“Ah masak
di desa sampai begitu?” Pertanyaan tersebut juga hinggap di benak saya sejak
awal saya tinggal di desa tahun 2017 lalu. Nyatanya, ini terjadi kepada orang
yang sudah saya anggap sebagai bapak sendiri. Anggap saja beliau bapak angkat
saya. Senin lalu beliau menjadi salah satu calon kepala desa yang takdirnya gagal
duduk di kursi kepala desa. Kecewa? Alhamdulillah, Gusti Alloh paringi kami
untuk bisa legowo.
Proses
menuju hari H pemilihan merupakan proses yang dihampiri oleh dukungan dengan cara
baik bahkan hina sekalipun. Betapa teduhnya ketika poro Yai mendo’akan dalam
khusyuk nan khidmah kepada Bapak kami. Nasihat untuk melaksanakan
ikhtiar-ikhtiar yang Alloh ridhoi pun menjadi kesan yang menenangkan.
Lantas
bagaimana dukungan hina yang pantang untuk dilaksanakan?
Sudah
barang tentu, mereka penghobi taruhan menawarkan iming-iming yang secara
syari’at jelas haram namun menggiurkan. Janji-janji dengan taktik memperoleh
suara dikemukakan dengan apik oleh para petaruh itu untuk memenangkan kontestasi.
Sungguh lihai dalam memaparkan padahal mereka bukanlah seorang marketing yang
bersekolah resmi. Sekali dua kali dengar rasanya taruhan memang menarik. Alhamdulillah,
takdir Alloh semua tawaran yang demikian bisa tertolak tanpa melukai perasaan. Satu
kalimat yang membuat untuk tidak melanjutkan deal-dealan tersebut adalah tidak
punya uang.
Hatta,
tidak terpilihnya bapak sebagai kepala desa bukanlah sebuah kegagalan tetapi
kami yakin bahwa keberhasilan bapak adalah dengan tidak menjadi kepala desa. Setiap
takdir adalah yang terbaik tinggal kita mau atau tidak memetik hikmah dan
ibrohnya. Banyak pendukung bapak yang merasakan sedih tak terperi. Kunjungan
mereka ke rumah sepasca pengumuman pilkades bak orang yang bertakziah. Tidak
sedikit dari mereka yang mengutarakan kesedihan dengan tersedu menangis,
terduduk lesu, bahkan pingsan. Akan tetapi, tangguh, kokoh, ikhlas, dan
tawakkal bapaklah yang menenangkan mereka semua, bahwa semua sudah ada takdir
dan porsinya. Kalahnya bapak adalah kalah terhormat dengan selisih yang tipis
tanpa menggunakan usaha-usaha di luar jalur syari’at.
Syahdan
di desa lain yang juga serentak melaksanakan pemilihan kepala desa, betapa
banyak kesedihan yang berujung kekecewaan. Kekecewaan yang akhirnya menyalahkan
takdir, bahwa setiap usaha adalah sia-sia. Betapa banyak kekalahan yang
meninggalkan hutang yang jumlahnya sangat tidak terukur: ratusan juta. Betapa
banyak figur kontestan yang gagah awalnya kemudian terpuruk dan jatuh sakit.
Melihat
fenomena ini benar apa yang sudah Islam ajarkan, iman harus bersemayam di dalam
hati, takwa menjadi penyempurnanya. Sesiapa yang sejatinya beriman lagi
bertakwa kepada Alloh Swt. akan merasakan ketenangan lahir dan batin. Mau
menang atau kalah dalam kompetisi ia akan tetap menjadi diri sendiri dalam
mengabdikan diri. Sungguh kekalahan terhormat dalam panggung politik adalah
cermin seberapa sabar, ikhlas, dan tawakkalnya diri terhadap setiap takdir
Alloh.
Baca Juga: