“Telah bertasbih kepada Alloh apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi, dan DIA-lah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Qs. as-Shof[61]: 1)
PERCIK.ID- Belajar dari
ayat di atas; sungguh gemerisik daun bambu yang disambut tawa oleh nyiur daun kelapa lalu diamini
pohon pisang dan mangga, terdengar lembut dibawa embusan angin yang bertiup. Pun
pula dengan burung-burung yang berkicau sambil berlompatan di balik rimbun
pepohonan adalah tasbih mereka kepada Tuhan. Mereka semua bersuka ria tiada
henti-hentinya mendendangkan lagu cinta untuk Tuhan. Bukan hanya mereka,
pematang sawah yang membentang dan padi yang menguning pun menyenandungkan lagu
yang sama, bahkan: guruh yang menggelegar memekakkan telinga pun bertasbih kepadaNYA.
Sebagaimana firman Alloh:
وَيُسَبِّحُ
ٱلرَّعۡدُ بِحَمۡدِهِۦ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ مِنۡ خِيفَتِهِۦ ....
“Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Alloh,
[demikian pula] para malaikat karena takut kepadaNYA,....” (Qs. ar-Ro’du[13]:
13)
Sungguh
berbeda cara pandang orang berakal “Ulul albab” ketika melihat deretan
bambu dan daun kelapa yang melambai-lambaikan tangannya, ia tidak menangkapnya
hanya sekadar ranting yang bergoyang sebab tertiup angin. Namun ia merasa
sedang bertemu dengan teman kencan yang yang merayunya dan mengajaknya berdansa,
untuk bersama-sama melebur dalam pusaran cintaNYA, dan bahagia dipelukanNYA.
Demikianlah orang-orang berakal itu memahami ayat-ayat Tuhan. Sehingga Alloh
menyebut mereka dengan: “Wa mâ yadzakkaru illâ ulul albâb” Dalam artian: “Tidak dapat mengambil pelajaran
[daripadanya] melainkan orang-orang yang berakal.” (Qs.
Ali-Imron[3]: 7).
Sedangkan
orang-orang awam berkata: masak pohon dan dedaunan itu dapat berbicara?
Melafadzkan kalimah tasbih untukNYA? menyanjungNYA dengan suka ria? Mendendangkan
asmaNYA dengan penuh cinta? Jika iya, kenapakah tidak kudengarkan suara
merdunya? Bohong kamu!
Jika kita belum
atau tidak mendengarnya, bisa jadi hati ini sedang sakit, atau mungkin telah
mati rasa yang menjadikan telinga ini tuli sepenuhnya. Sehingga syukur yang
acap kali kita ucapkan kehilangan makna dan rasa. Ia hanya sebatas ucapan mulut
belaka yang tak bisa menyetuh relung jiwa.
Sama halnya dengan
takbir, rukuk dan sujud yang kita persembahkan kepada Tuhan dengan terpaksa. Maka
jangan salahkan siapapun, jika kian hari hidup ini semakin merana. Jauh dari ketenangan dan haus rasa bahagia.
Akan tetapi
salahkanlah dirimu sendiri yang telah lancang di hadapan Tuhan dengan seolah-olah
menyembahNYA namun hatimu tak sungguh-sungguh bersimpuh di hadirotNYA.
Sebagaimana
yang didedahkan Imam al-Ghozali di dalam kitab Ihya’ menukil dawuh Kanjeng Nabi
saw.
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ لَمْ
يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلَّا بُعْدًا
“Barangsiapa
yang sholatnya tidak bisa mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, maka
tidak bertambah dirinya kepada Alloh kecuali semakin jauh.” (Hr. Imam
Tirmidzi)
Padahal sudah
jelas, syariat yang diperintahkan kepada umat manusia adalah hadiah dari Tuhan
sebagai wujud kasih-sayangNYA. Karenanya barangsiapa menerimanya dengan rela
dan melaksanakannya dengan panuh kesadaran, maka setiap tindakannya melahirkan
pengetahuan yang berbuah cinta.
Sehingga
menerima segenap tumpahan kasih sayang Tuhan, baik yang berupa rejeki maupun
coba’an; kelebihan atau kekurangan, dengan hati yang ridho lagi bahagia, dan
sebisa mungkin membalas cintaNYA “Rodiyallôhu ‘anhu wa rodhû ‘anhu”.
Sebagaimana bersyukurnya
padi atas titahNYA. Sungguh ia tidak main-main. Merunduknya sepenuh jiwa. Kepada
Tuhan ia haturkan rasa gembira dan bersukaria, sebab telah dilahirkanNYA di
tanah, menguning di sawah, dan menjadi beras di tampah, kemudian sebagai nasi
memasuki tenggorokan setiap hambaNYA yang gerah.
Ia tidak
pernah protes dan kesakitan ketika tungku menanaknya di atas panas api yang
membara, bahkan sebaliknya hatinya sungguh bahagia, jingkrak-jingkrak,
sebab demikianlah cara paling mulia bagi padi untuk tiba kembali ke pangkuan
Tuhannya.
Baca Juga:
Hehehe
BalasHapus