PERCIK.ID- Pada tulisan yang lalu telah kita bahas
salah satu contoh penerapan teori hilah dalam kasus yang
terjadi di masyarakat, yaitu jual beli kotoran hewan. Dimana pada dasaranya
transaksi jual beli semacam ini terlarang karena tidak memenuhi salah satu
unsur syarat jual beli yaitu unsur kesucian. Ya, karena kotoran hewan apapun
(dalam Madzhab Syafi’i) substansi dzat (ain)nya memang sudah najis,
dan bukan mutanajjis (sesuatu yang terkena najis). Artinya,
status dan kandungan najis kotoran tidak bisa diubah dan disucikan.
Tetapi pada sisi yang lain, kita tahu,
praktik jual beli kotoran hewan ternyata berbuah pada banyak kemaslahatan.
Semua orang sudah mafhum, kalau jual beli kotoran hewan ini bukanlah bertujuan
untuk dikonsumsi (Dan memangnya siapa yang mau makan kotoran?), tetapi untuk
kebutuhan kesuburan tanah dan tanaman dalam pertanian. Dengan menggunakan pupuk
kandang, tanaman bukan saja akan tumbuh dengan subur, tetapi juga
menyehatkan manakala dikonsumsi manusia. Ini poin plus dan penting dibanding
pupuk kimia produksi pabrikan yang sedikit banyak tentu mengandung efek negatif
bagi kesehatan tubuh, baik dalam jangka pendek atau lama. Atas
pertimbangan-pertimbangan semacam itulah, para ulama’, utamanya dari kalangan
Madzab Syafi’i, dalam ijtihadnya kemudian memunculkan teori hilah ini.
Contoh lain yang juga banyak kita jumpai di
masyarakat, berkaitan dengan hilah, adalah kesepakatan dalam akad gadai (rohn).
Pada dasaranya, dalam hukum baku fikih, barang yang dijadikan jaminan gadaian (marhun)
tetaplah menjadi hak milik dan hak pakai pihak penggadai atau pihak peminta
hutang (rohin). Dan tidak diperbolehkan, bagi pihak yang memberi
hutang/gadai (al-murtahin) untuk mengambil kemanfaatan
darinya. Karena sebetulnya, barang yang digunakan sebagai jaminan gadaian,
hanyalah berfungsi untuk menjaga kepercayaan orang yang memberi hutang, bahwa
orang yang berhutang akan membayar tepat waktu. Jadi dalam hal ini, tidak
terjadi pemindahan status kepemilikan barang dari rohin kepada al-murtahin.
Hal in berdasar pada hadis Nabi
لَا يُغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ
غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
“Barang gadaian itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang
telah menggadaikanya. Ia berhak atas kelebihan (manfaat)nya dan wajib
menanggung kerugian (penyusutan)nya”(Hr. Daruquthni dan Hakim).
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ
مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
"Setiap utang yang memberlakukan manfaat
adalah riba".
Namun dalam perkembangannya, sebagian ulama
berpandangan, bahwa sebab keharoman pemanfaatan barang itu, adalah apabila hal
ini dijadikan persyaratan oleh pihak pemberi gadai dan disebutkan dalam akad
awal. Proses inilah yang membuatnya termasuk dalam unsur ribawi dan harom
dilakukan. Tetapi apabila hal itu tidak terjadi, artinya tidak ada persyaratan
dari pihak yang menghutangi akan pemanfaatan barang jaminan, maka itu
dibolehkan.
Mengapa dan apa illat dibolehkannya?
Adalah karena hal ini sudah menjadi kebiasaan umum. Dan masyarakat, termasuk
kedua belah pihak, sama-sama sudah mafhum. Sehingga atas dasar itu, diduga kuat
pihak penggadai sudah memberi ijin bagi pihak yang memberi gadai, untuk
menggunakan dan memanfaatkan barang yang ia gadaikan. Disinilah
letak rekayasa hukum itu terjadi.
Itu adalah contoh penerapan hilah dalam
kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Tetapi yang juga perlu
diingat, sebagaimana yang sudah disebutkan dalam tulisan sebelumnya adalah,
bahwa hukum itu berlaku sesuai illat (alasan hukum)nya.
Kondisi, waktu, dan tempat terjadinya suatu kasus, sangat berkaitan dengan
bagaimana suatu hukum diberlakukan. Jadi contoh di atas sifatnya hanya relatif
saja, tergantung faktor-faktor pendukungnya. Dan hilah fikih,
dilakukan oleh para ulama' dengan terlebih dulu membedah illat hukum
itu.
Rekayasa hukum ini dimunculkan dan
diberlakukan oleh para ulama' dalam rangka mencari kemaslahatan bersama, dengan
mencari alternatif terbaik di antara sekian alternatif yang ada dalam kasus
aktual yang terjadi di masyarakat. Kehidupan yang terus berkembang senantiasa
melahirkan peristiwa-peristiwa baru dan kasus-kasus baru yang perlu dicari
formula syari’atnya. Sedangkan bagi ulama', memandekkan permasalahan hukum
syariat adalah sesuatu yang terlarang. Sebagai tokoh panutan, para ulama' memiliki
tanggung jawab moral mencari jalan keluar dan kepastian hukum untuk
mengakomodir persoalan-persoalan itu sesulit apapun.
Ya, sulit, karena dalam beberapa kasus,
kadang ulama' dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sama-sama beresiko.
Ilustrasinya, kiri dosa, kanan juga dosa. Maka terkadang, keputusan ulama’
lebih merupakan upaya menutup kemungkinan terburuk "saja" (daf'ul
mafasid) sekalipun pilihan yang diambil, (secara lahiriah) juga bukan
sesuatu yang baik.
Inilah dasar mengapa dulu Hadrotus Syaikh Hasyim
Asy'ari dan Nahdlotul Ulama' secara organisatoris mengakui pemerintahan Hindia
Belanda. Secara dhohir, mengakui keabsahan kekuasaan penjajah jelas bukan
sesuatu yang benar. Tetapi di sisi lain, Kalau NU mengambil sikap sebaliknya,
mengingkari kekuasaan hindia belanda, maka itu sama artinya dengan NU tidak
mengakui segala bentuk produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintahan itu.
Artinya, pernikahan rakyat Indonesia yang ketika itu diresmikan pemerintah
hindia belanda menjadi tidak sah secara hukum syara'. Maka suami-istri yang
sebelumnya sudah diresmikan pemerintah menjadi berstatus zina. Kan malah lebih
bahaya?!
Oleh sebab itu, dalam upayanya mencegah
kemungkinan terburuk yang mencelakakan banyak orang, NU mengambil keputusan
organisasi yang dinilai paling baik yaitu mengakui penguasaan hindia-belanda
sebagai pemerintahan de facto. Terbukti, dalam pertempuran sengit
10 Nopember di Surabaya yang sampai kini dikenang sebagai hari pahlawan
nasional, KH. Hasyim asy'ari melalui Resolusi Jihadnya-lah yang mengobarkan
semangat juang rakyat Surabaya dan sekitarnya untuk melawan penjajah. Serta
memberi rangsangan kuat bagi para pemuda Islam untuk berjihad membela negara.
Itu membuktikan bahwa ada alasan yang sangat kuat dibalik keputusan pengakuan
NU pada waktu itu.
Begitu pula yang terjadi dalam kasus yang
belum lama ini tentang keputusan sidng komisi bahtsul masa’il Nahdotul ulama
yang mengusulkan untuk menganti penyebutan panggilan kafir menjadi non-muslim.
Banyak pihak yang tanpa mengikuti proses diskusinya, tidak paham duduk
perkaranya, dan tidak melakukan upaya tabayyun, tiba-tiba mengecam disana-sini,
bahkan ada yang sampai hati memermainkannya dengan ayat pertama surat
al-Kafirun. Padahal usul penyebutan atau panggilan itu adalah dalam konteks
bernegara dan berbangsa. Bukan merevisi nash teks Qur'an.
Ini menunjukkan bahwa korelasi antara ilmu
dengan kebijaksanaan sikap, memang tidak dimiliki sembarang orang.
www.percik.id
BalasHapusHilah Maslahah NU