PERCIK.ID- Zaman berubah, karakteristik manusia didalamnya sudah
barang tentu juga berubah. Sudah menjadi sunatulloh kehidupan, katanya.
Di Jogja, dulu semua pegawai negeri bekerja dengan
periode enam hari, Senin hingga Sabtu. Kini, Ibuk saya yang guru SMA disana,
mengajar hanya Senin sampai Jumat, cukup lima hari saja. Periode kerja semakin
sedikit dan waktu di luar pekerjaan semakin longgar. Kabarnya, semakin kedepan,
periode kerja manusia akan terus berkurang. Mungkin, suatu hari nanti, kita
dapati hari libur kerja lebih dari hanya Sabtu dan Minggu.
Dulu semua orang belanja harus pergi ke tokonya langsung.
Lihat barangnya, dicoba kalau perlu, baru dibayar dan dibawa pulang. Kini,
orang cukup tal-tul-tal-tul pada layar handphone, lalu seminggu kemudian
barang yang diinginkan sudah datang sendiri. Proses panjang jual beli dan
transaksi menjadi sedemikian efisien sehingga selesai dalam periode menit plus
cukup sambil duduk dan tak perlu repot mengeluarkan tenaga.
Semua berubah. Sering kita dengar cerita bahwa dulu manusia
pernah mengalami zaman berburu, kemudian berubah memasuki era bercocok tanam.
Kini, bahkan kita mulai meninggalkan budaya agraris dan memasuki era baru, era
industrial. Pada era ini, penggunaan otot dan tenaga berubah halauan pada
sesuatu yang instrumentasinya berbasis mesin. Bahkan lebih dari itu, hari-hari
ini, mesin pun sudah di-digital-isasi. Diotomatiskan, supaya semakin mandiri
dan pintar agar bisa memudahkan urusan-urusan manusia.
Segala perubahan tadi, mula dan tujuannya sama, yakni
keinginan untuk mencapai kehidupan yang mudah. Mau tak mau, harus kita akui
bahwa zaman terus melaju pada budaya yang gampang, cepat, minim tenaga, dan
mungkin minim pikiran. Atau ringkasnya, bolehlah kita sebut: minim perjuangan.
Di satu sisi, generasi pun berganti, dari generasi
pejuang sampai akhirnya lahirlah generasi yang kini kita sebut milenial. Dan
seperti jabaran di atas, generasi ini tumbuh dengan karakter zaman yang semakin
tertuju pada keinginan serba cepat dan mudah. Didukung dengan perangkat yang
serba digital, dan otomatis, maka generasi ini tidak familiar dengan istilah
perjuangan.
Tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan generasi baru
yang seolah-olah ogah berjuang. Bukan. Tulisan ini sekedar menjadi pengingat bahwa
ada kecenderungan kearah sana. Keadaan yang semakin mudah, cepat, dan minim
tenaga seringkali membuat kita malas untuk menempuh jalan yang lebih terjal,
lebih lama, dan lebih tidak pasti. Padahal, untuk menjadi manusia utuh yang
tangguh, tidak mungkin tidak, ada proses tirakat yang harus ditempuh. Boleh
jadi bentuk perjuangan itu berbeda, tapi tidak mungkin tidak ada. Perjuangan
itu harus.
Maka, mempertemukan titik seimbang antara perjuangan
dengan karakter zaman adalah kuncinya. Kecepatan, kemudahan, otomatisasi, dan
serba-serbi kecanggihan akan terus menjadi-jadi dan tidak bisa kita tolak. Menemukan
bentuk perjuangan yang tepat dalam kecepatan dan kemudahan di era ini justru
menjadi pekerjaan yang tak mudah dan harus diselesaikan segera. Tanpa ditunda!
www.percik.id
ردحذفBentuk Perjuangan