PERCIK.ID- Beberapa hari lalu, anak lanang saya yang belum genap empat tahun itu, ngotot betul ingin dibelikan mainan. Berbeda dengan biasanya, kali ini dia minta dibelikan tembak-tembakan. Dengan pura-pura tenang, saya mencoba bertanya lebih jauh kepadanya, kenapa dia mau mainan itu. Sebab seingat saya, belum pernah dan memang belum saatnya saya mengajari problem solving, apalagi dengan metode jothak-an.
“Buat nembak-i cicak, Pak!”, begitu jawab anak saya semangat.
Jawaban itu jelas melegakan saya karena keinginannya memiliki pistol mainan bukan dalam rangka membangun adegan-adegan bermusuhan, berlawanan, menyakiti, atau menang-menangan yang, walaupun sekedar dolanan, rasanya terlalu dini untuk dimengerti bocah seumuran dia.
Perihal membunuh cicak yang menjadi niatan anak saya, jangan juga terlalu didramatisir seakan keluarga saya adalah pelaku sunnah yang paripurna. Tidak, tidak demikian adanya kok Mas, Mbak. Anak saya yang urusan sholat saja masih belum utuh, mana mungkin saya jejali pemahaman pada taraf membunuh cicak adalah sunnah.
Jika boleh jujur, sebenarnya saya lebih bahagia apabila yang tertanam di benak anak saya adalah semangat mengasihi, sekalipun pada hewan yang sudah ‘dikutuk’ yang dengan membunuhnya berbalaskan ganjaran. Saya jelas bukan bermaksud nekat mbalelo atas hadis Rosul. Hanya dalam pandangan dangkal saya, pada konteks batita, proporsi penumbuhan jiwa welas asih rasanya harus didahulukan di atas spirit segala sesuatu harus sunnah, sunnah, dan sunnah.
Memang benar bahwa cicak diabadikan sebagai pihak yang ikut menghembus-hembuskan api Raja Namrud yang membakar Kekasih Alloh, Ibrohim Alaihissalam. Berbeda dengan katak, yang pada peristiwa yang sama justu gupuh membantu membawakan air untuk memadamkan api, atau setidak-tidaknya membantu agar Sang Kholilulloh merasa sedikit adem.
Menilik kisah cicak yang berpihak pada api yang membakar Ibrahim as., atau katak yang ada di pihak sebaliknya, keduanya sebenarnya tidak akan mengubah hasil apapun. Seberapa besar sih tiupan cicak untuk menambah kobaran api? Juga seberapa banyak air yang bisa diangkut mulut katak agar api yang menyulut Nabi Ibrohim as. bisa padam?
Dari sudut pandang peristiwa pembakaran Ibrohim, perbuatan cicak dan katak sudah barang tentu tidak bernilai signifikan. Namun demikian, nyatanya keberpihakan menentukan derajat. Efek atas tindakan jelas tak bermakna apa-apa, namun ternyata niat dan keberpihakan bernilai sangat luar biasa. Oleh karenanya, kita harus berhati-hati pada desiran niat selembut apapun, karena darinya akan tercermin posisi di mana kita berpihak: apakah pada yang Alloh suka atau tidak.
Hal ini pernah juga dinasihatkan salah satu teman baik saya yang seorang ilmuwan namun ngaku-ngaku saja sebagai pedagang buku. Darinya, saya dapatkan penekanan bahwa sungguh penting kita menyatakan dimana kita berdiri, nilai dan prinsip apa yang kita yakini, juga kebenaran seperti apa yang kita junjung dan bela.
Kalau pada seorang tuna wisma kita gemar sekali berbagi makanan atau bahkan mungkin sekedar teras rumah untuk berteduh, cukuplah itu menjadi bukti kita berpihak sebagai ‘pembela’ mereka. Namun sebaliknya, dikala kita tidak bisa memberi apapun, sekalipun sekedar do’a untuknya yang terselip di antara banyaknya permintaan kita, namun justru mengumpat dalam hati tentang betapa merepotkan dan membebaninya mereka, maka itu cukup juga menjadi bukti bahwa kita berposisi sebagai pihak ‘bukan pembela’ tuna wisma.
Tentu Anda sudah lebih tahu, pihak mana yang lebih mulia, yang lebih maslahat, yang rohmatan, dan yang disukaiNYA. Dengan bijak memilih, semoga kita bisa meniru laku katak yang, walaupun sekecil dan setidakberakibat apapun, tetap teguh memihak pada kebenaran.
Jangan sampai, sudah tau pilihan buruk, jelek, batil, kotor, dan hina tetap saja Anda berdiri gagah disana.
Golongan cicak Anda! Awas dibedil anak saya, baru tau rasa!
www.percik.id
ردحذفKeberpihakan