PERCIK.ID- Muara
para kiai di tanah Jawa yang penuh
dengan misteri itu bernama lengkap Muhammad Cholil, putra Kiai Abdul Latief,
seorang kiai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Bangkalan, ujung barat Pulau
Madura. Pada hari Selasa 11 Jumadi al-Tsaniyah 1235 H Kiai Abdul Latief begitu
berbahagianya mendapatkan anugerah seorang putra dari rahim istrinya.
Dikumandangkannya adzan dengan penuh penghayatan serta serta seruan kepada
Tuhan agar kelak putranya menjadi seorang pemimpin umat.
Di benak
Kiai Abdul Latief terbayang Sunan Gunung
Jati, salah seorang Wali Songo, pemimpin dan pejuang Islam yang terkenal. Kiai
Abdul Latief mendambakan putranya kelak bisa mengikuti jejak Sang Sunan. Sebuah
pengharapan yang wajar jika menilik sejarah bahwa Muhammad Cholil masih
keturunan Sang Sunan. Kiai Abdul Latief adalah putra Kiai Hamim, Kekeknya
adalah Kiai Abdul Karim, yang terakhir ini adalah anak Kiai Muharrom bin Asral
Karomah bin Kiai Abdulloh bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu
Sunan Gunung Jati.
Cholil
kecil mendapat pendidikan yang ketat dari ayahnya. Ia memiliki bakat yang
istimewa sejak usia belia. Kehausannya akan ilmu, terutama fiqh dan nahwu
sangat luar biasa, bahkan ia sudah hafal dengan sangat baik Nadzhom Alfiyah
Ibnu Malik (seribu bait ilmu nahwu) di usia kanak-kanak itu. Menginjak usia
remaja ia dikirim ke berbagai pesantren oleh ayahnya untuk menimba ilmu,
pengalaman dan kearifan.
Pada
periode 1850-an, Cholil muda berguru kepada Kiai Muhammad Nur di Pesantren
Langitan, Tuban. Dari Langitan lantas nyantri di Pesantren Cangaan,
Bangil, Pasuruan. Dari Cangaan, Cholil pindah ke Pesantren Keboncandi,
Pasuruan. Cholil juga berguru kepada Kiai Nur Hasan, yang masih terhitung
keluarganya, di Sidogiri yang berjarak 7 kilometer, dilakoninya setiap hari
rute Keboncandi-Sidogiri. Dalam perjalanannya Cholil muda sesantiasa membaca
surah Yâ Sîn, hingga khatam berkali-kali.
Cholil
muda sebenarnya bisa menetap di Sidogiri, tetapi ia memilih tinggal di
Keboncandi agar bisa memburuh batik dan mendapatkan penghasilan untuk
mengongkosi biaya hidupnya selama nyantri. Ia tidak mau bergantung pada ayahnya
yang sebenarnya sangat mampu membiayainya. Selain mengajar ngaji, Kiai Abdul
Latief juga seorang petani yang memiliki tanah yang luas, hasil panennya tentu
lebih dari cukup untuk biaya belajar sang putra, tetapi Cholil muda punya
pendirian lain, ia tidak mau berada dalam zona nyaman.
Makan
Gratis
Seperti
umumnya santri pada jaman itu, Cholil muda pun mempunyai keinginan untuk
belajar di Mekkah yang waktu itu dianggap pusat ilmu agama Islam. Cholil
kembali menunjukkan kemandiriannya ketika niat tersebut tidak disampaikannya
kepada orangtua, ia malah memutuskan untuk pindah nyantri ke sebuah pesantren
di Banyuwangi, Kiai-nya membunyai kebun kelapa yang luas, selama nyantri,
Cholil nyambi menjadi buruh petik kelapa. Untuk setiap pohon dia
memperoleh upah 2,5 sen. Uang hasil memburuh itu ditabungnya. Soal makan,
Cholil mempunyai cara tersendiri. Ia menjadi juru masak bagi rekan-rekannya,
setelah semua kawannya selesai makan, barulah ia makan sisa-sisa hasil
masakannya sendiri. Selain itu, Cholil juga menjadi khadamnya (pembantu)
kiai di ndalem (rumah kiai). Mengisi bak air, mencuci dan bersih-bersih
adalah tugas sehari-harinya.
Menimba
Ilmu di Mekkah
Tahun
1859, ketika berusia 24 tahun, Cholil memutuskan untuk berangkat ke Mekkah
dengan uang hasil menabungnya. Sebelum berangkat ia dinikahkan dengan Nyai
Asik, anak perempuan Lodra Putih. Selama pelayaran menuju Mekkah, Cholil lebih
banyak berpuasa, bukan untuk menghemat uang tetapi untuk mendekatkan diri
kepada Alloh, berharap diberi kemudahan dan keselamaatan dalam perjalanan.
Cholil
cenderung tertarik mengikuti Madzhab Syafi’i, kepada para Syaikh yang
bermadzhab Syafi’i itulah Cholil mengaji di Masjidil Harom. Kebiasaan hidup
prihatin di tanah kelahiran diteruskannya juga selama di Mekkah, Cholil lebih
memilih memakan kulit semangka ketimbang memakan makanan lain yang lebih layak.
Hal tersebut sempat mengherankan kawan seangkatannya, antara lain Syaikh Nawawi
al-Bantani, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabaui, Syaikh Muhammad Yasin
al-Fadani dan Kiai Ahmad Rifa’i Kendal.
Sepulang
dari tanah Arob, Cholil dikenal sebagai seorang ahli fikih jempolan, dan juga
seorang ahli tarekat yang handal. Bahkan kemudian, ia bisa memadukan keduanya
dengan serasi. Ia juga seorang penghafal al-Qur’an. Mula-mula ia mendirikan
pesantren di Desa Cengkebun, sebelum pesantren itu ia serahkan kepada menantunya,
Kiai Muntaha, keponakannya sendiri yang ia nikahkan dengan putrinya, Siti
Khotimah.
Kemudian
Kiai Cholil mendirikan pesantren lagi di Desa Kademangan. Di tempat baru ini ia
memporoleh santri cukup banyak, yang berdatangan dari daerah sekitar, banyak
juga yang berasal dari tanah seberang, Pulau Jawa. Diantara santri-santrinya
akan kita temukan nama-nama yang kelak menjadi kiai-kiai besar semisal Kiai
Hasyim Asyari (Jombang), Kiai Bisri Syansuri (Jombang), Kiai Abdul Karim
(Kediri).
Pintu
Rusak
Kiai
Cholil hidup ketika nama Indonesia belum ada, ia hidup pada masa penjajahan. Maka,
berurusan dengan tentara penjajah bukanlah hal yang asing baginya. Ketika itu
ada beberapa pejuang dari Jawa yang bersembunyi di Pesantren Kademangan,
tentera penjajah telah mengetahui hal ini, maka digeledahlah seluruh sudut
pesantren, tetapi hasilnya nihil. Tidak kurang akal, tentara penjajah yang
jengkel memutuskan untuk menahan Kiai Cholil. Penahanan ini bermaksud agar para
penyusup menyerahkan diri. Tetapi kemudian yang dihadapi tentara penjajah
adalah persoalan yang lebih pelik.
Apa yang
terjadi? Mula-mula semua pintu tahanan tempat Kiai Cholil ditahan tidak bisa
ditutup. Hal ini membuat mereka harus berjaga siang malam agar para tanahan
lain tidak kabur. Hari-hari selanjutnya ribuan orang dari Pulau Madura datang
hendak menjenguk Kiai Cholil, bahkan datang juga berbondong-bondong dari Pulau
Jawa, hal ini tentu memusingkan tentara penjajah. Akhirnya dikeluarkanlah
larangan menjenguk Kiai Cholil, tapi larangan itu pun pada akhirnya sia-sia,
masyarakat masih terus menerus datang berbondong-bondong di sekitar rumah
tahanan, bahkan ada yang memaksa ikut ditahan bersma Kiai Cholil. Daripada
kerepotan berkepanjangan dengan hal-hal yang tidak bisa dimengerti itu, tentara
penjajah akhirnya membebaskan Kiai Cholil.
Kiai
Cholil Wafat
Kiai
Cholil wafat pada 29 Romadlon 1343 H dalam usia 91 tahun (menurut hitingan
tahun miladiyah/masehi). Jejak langkahnya seakan abadi dan mengalir bagai
sungai. Pengabdiannya kepada ilmu, akan senantiasa diteruskan oleh para
santri-santrinya. Di Indonesia kini terdapat tak kurang 7.000 pesantren yang
terus berkhidmah kepada ilmu. Sebagian besar para pengasuh pesantren mempunyai sanad
(persambungan) keilmuan dengan Kiai Hasyim Asya’ri, Kiai Bisri Syansuri,
Kiai Wahab Chasbulloh serta kiai-kiai lainnya di Jawa dan Madura. Yang jelas mereka
semua merupakan santri Kiai Cholil. Sang muara yang mempesona.
www.percik.id
ردحذفSyafiq Rahman
Kiai Cholil yang Istimewa & Berkharisma: Pencetak Kiai-Kiai Besar