PERCIK.ID- Ketika
Kartini masih berumur 20 tahun, ia mengungkapkan sebuah kegelisahan dalam
suratnya kepada Stella E. H. Zeehandelaar, tertanggal 6 November 1899: “Al-Qur’an
terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun juga. Di sini orang juga
tidak tahu Bahasa Arab. Di sini orang diajari membaca al-Qur’an, tetapi tidak
mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap itu pekerjaan gila; mengajari
orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya”.
Surat itu
ditulis Kartini sebelum bertemu dengan salah seorang Ulama’ besar di Jawa yang
bernama Muhammad Soleh bin Umar as-Samaroni atau lebih dikenal sebagai Mbah
Kiai Soleh Darat. Beberapa waktu berselang, selepas pertemuan antara Kartini
dan Mbah Soleh Darat, lahirlah sebuah karya dari Mbah Soleh berjudul Tafsir
Faidlur Rahman fi Tarjamati Tafsir Kalam Malikid Dayyan yang merupakan
salah satu tafsir al-Qur’an pertama dalam Bahasa Jawa yang ditulis dengan Abjad
Jawi (Arab Pegon).
Mbah
Soleh Darat lahir sekitar tahun 1820 di Desa Kedung Cemlung, Jepara. Hidup
sezaman dengan Kiai Kholil Bangkalan dan juga Syaikh Nawawi Banten. Ketiganya
merupakan kawan seperguruan ketika menimba ilmu di Mekkah bersama Syekh
Muhammad Zain bin Mustafa Al-Fathani & Syekh Amrullah (Datuk Prof. Dr.
Hamka).
Ayah Mbah Soleh, Kiai Haji Umar merupakan
pejuang Islam yang pernah bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro dalam
perang legendaris yang membuat bangkrut pihak Belanda.
Perjalanan
keilmuan Mbah Soleh dimulai sedari usia dini. Belajar dasar-dasar Islam kepada
Kiai Haji Syahid, seorang ulama’ di Waturoyo, Pati, Jawa Tengah. Sesudah itu ia
dibawa ayahnya ke Semarang untuk belajar dan berguru kepada beberapa ulama’,
diantaranya adalah Mbah Asnawi Kudus, Kiai Haji Ishaq Damaran, Kiai Haji Abu
Abdillah Muhammad Hadi Banguni (Mufti Semarang), Kiai Haji Ahmad Bafaqih
Ba’alawi, dan Kiai Haji Abdul Ghani Bima.
Ayahnya berazzam
agar anaknya menjadi pribadi yang ilmunya luas, luwes dan mendalam serta kaya
akan pengalaman. Selepas belajar kepada para kiai di tanah air, ayahnya
mengajaknya merantau ke Singapura. Beberapa tahun kemudian, bersama ayahnya,
beliau berangkat ke Mekkah untuk menunaikan haji, sementara sang ayah pulang,
Soleh muda menetap disana untuk mendalami berbagai ilmu kepada beberapa ulama
di Mekkah pada zaman itu, diantaranya adalah: Syekh Muhammad Al-Muqri, Syekh
Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh
Ahmad Nahrowi, Sayyid Muhammad Saleh bin Sayyid Abdur Rahman Az-Zawawi, Syekh
Zahid, Syekh Umar Asy-Syami, Syekh Yusuf Al-Mishri dan Syekh Jamal (Mufti
Madzhab Hanafi).
Sekembalinya
dari Mekkah, pemuda Soleh yang rakus belajar itu telah berubah menjadi seseorang yang mumpuni
ilmunya. Sebelum memutuskan untuk kembali ke tanah air, ia telah memperoleh
ijazah dari para gurunya untuk mengajar. Beberapa muridnya berasal dari Jawa
dan Melayu. Ia kemudian diambil menantu oleh Kiai Murtadlo, mendirikan sebuah
pesantren di daerah Melayu Darat, Semarang. Dari sinilah nama “Darat” kemudian
disematkan di belakang nama beliau.
Imam
Ghozali Bertamu
Semua kitab karya Mbah Soleh Darat berisi ajaran tasowwuf. Meski membahas
fikih, isinya pun banyak ajaran tasowwuf. Kitab kecil bab shalat dan wudhu, Lathaifut
Thaharah wa Asrarus Solat, juga berisi ajaran tentang tasowwuf. Juga kitab Majmu’
Syariat maupun Pasolatan, ada tasawuf di dalamnya. Terlebih dalam kitab yang memang membahas tentang tasawuf,
seperti Munjiyat, Minhajul Atqiya fi Syarhi Ma’rifatil Adzkiya’, Tarjamah
Al-Hikam, dan Syarah al-Burdah. Mbah Soleh sering menukil pendapat
dari Imam al-Ghozali dalam karya-karyanya, amat kagum dan hormat kepada
Hujjatul Islam tersebut.
Setiap selesai mulang ngaji, Mbah Soleh menulis, dengan pena tutul dan
tinta China yang selalu dicampuri minyak wangi oleh beliau. Diterangi oleh
temaramnya lampu teplok, di atas lembar demi lembar ia tuliskan gagasan,
ide-ide dan ulasan-ulasannya.
Suatu malam, Mbah Soleh kedatangan seorang tamu yang memakai pakaian
khas Arab, berjubah dan memakai surban di kepalanya. Mbah Soleh sedang berada
di ruangannya, menulis kitab Munjiyat: Methik Saking Ihya Ulumiddin. Oleh para santri, tamu tersebut disuguhi
wedang, sebelum diantarkan menemui Mbah Soleh.
Para santri kembali ke langgar, nderes
pelajaran-pelajaran, dari ruangan di sebelahnya yang dipisahkan oleh dinding
kayu, didengar oleh mereka sayup-sayup perbincangan antara Mbah Soleh dengan
tamu tadi dalam Bahasa Arab.
Ketika malam telah semakin larut, sang tamu
berpamitan, Mbah Soleh mengantarkannya sampai serambi rumahnya. Usai melambai di halaman
langgar, tamu itu melangkah ke arah jalan besar. Dalam sekejap, ia telah
menghilang dalam gelap malam.
“Niku wau sinten, kiai? (Itu tadi siapa, kiai?), kadose dereng
nate tindak mriki? rasanya belum pernah datang ke sini?” tanya seorang
santri senior, yang menyuguhi wedang tadi.
“Oh, iku mau Imam al-Ghozali (Itu tadi Imam al-Ghozali), beliau
merestui kitab yang kutulis,” jawab Mbah Sholeh kalem.
“Subhanolloh, masyaAlloh. Bukankah Imam al-Ghozali sudah wafat ratusan
tahun lalu, kiai?” ujar mereka takjub sambil bertanya-tanya.
“Ya itulah karomah beliau. Mari kita berdo’a tawassul kepada Imam
Al-Ghozali agar ilmu kita diberkahi,” pungkas Mbah Sholeh seraya menyuruh
santrinya kembali ke langgar.
Guru Para Kiai
Mbah Soleh Darat merupakan maha gurunya NU dan Muhammadiyah. Sebab, Kiai
Hasyim Asy’ari dan Kiai Ahmad Dahlan
merupakan santri beliau. Disamping dua santrinya yang kemudian menjadi kiai
besar itu, ada juga santri-santrinya yang lain yang tak kalah alim, diantaranya
Syekh Mahfudz At-Tarmasi (Ulama Besar Madz-hab Syafi’i yang ahli dalam bidang
hadits), Kiai Bisri Syansuri (Pendiri Pesantren Mamba’ul Ma’arif, Jombang).
Kiai Idris (Pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo dan Kiai Sya’ban (Ulama
Ahli Falak di Semarang).
Mbah Soleh wafat pada hari Jum’at, 28 Romadlon 1321 H, atau 18 Desember
1903 di usia 83 tahun, dimakamkan di tempat pemakaman umum di Bergota,
Semarang.
Mbah Soleh merupakan pengkhidmat ilmu sejati, ia pembelajar yang sangat
tekun, mengajarkannya dengan penuh kesabaran dan kearifan, penulis tanpa pamrih
selain kepada keridloan Alloh swt., ngemong masyarakat dengan amat
telaten, peneladan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw. dengan sikap lembutnya
yang menyejukkan. Semoga Alloh swt. memberinya tempat yang mulia di sisiNYA.
Amin.
www.percik.id
ردحذفMbah Kiai Soleh Darat: Guru Ibu Kartini yang Pernah Ditemui Imam Al-Ghozali(link)