PERCIK.ID- Corona telah menghadirkan
sekian banyak drama; ngempet, waspada, dan menahan diri agar tak
kemana-mana menjadi tema yang selalu mengemuka. Kini hadir di tengah kita,
bulan puasa, menambah satu agenda di tengah kegaduhan suasana. Akankah kiranya Ramadhan
menambal segala kegundahan, ataukah kita membuatnya menjadi bagian yang
menambah-nambah drama?
Om saya dari garis isteri
pernah mengutarakan hipotesanya bahwa puasa bisa menghadirkan resiko tambahan
dalam silang sengkarut drama Corona. Orang berpuasa cenderung lemah
pertahanannya, sedang Corona mengharuskan kita ada dalam kondisi prima dan
terjaga. Menggunakan kalkulasi logika, dia ingin mengatakan bahwa kasus Corona
bisa saja meledak dalam bulan puasa.
Namun bukankah kita memiliki pegangan
yang amat memantapkan: Shumu Tashihhu; berpuasalah agar kamu
sehat, kurang lebih begitu inti nasehat Nabi soal puasa dan kesehatan. Meskipun
dalam beberapa pembahasan dikabarkan sebagai Hadis Dhaif, pada akhirnya
terbukti memang ada faedah puasa bagi kesehatan setelah ditelaah lebih jauh
melalui berbagai penelitian.
Saya sendiri, secara pribadi,
meyakini puasa akan meningkatkan kebugaran tubuh. Sehingga dengan itu, semestinya
semakin kuat dan aman kita menghadapi Corona. Bahkan kalau boleh jujur, saya
juga berharap semoga Ramadhan ini menjadi titik balik kemenangan kita atas
wabah yang menyebalkan ini, meskipun -seperti kalkulasi Om saya dan umumnya
orang- itu tak masuk akal.
Barangkali justru karena tak
masuk akal itulah saya semakin berharap. Sehingga kiranya itu benar-benar
terwujud, akan melek kita pada bukti KuasaNYA. Bahwa tak semua harus
masuk logika demi supaya terjadi nyata. Terlebih, kondisi kita memang nampaknya
sudah sampai pada titik itu; melihat langkah-langkah yang ditempuh, kita
sepertinya sudah kehabisan celah untuk berharap pada solusi-solusi yang masuk logika.
Dari sudut pandang sebaliknya,
barangkali perlu pula kita syukuri dengan lebih serius soal keberadaan Corona
yang menembus periode puasa ini. Satu teman di tempat kerja mengatakan bahwa
Alloh mungkin mencabut rahmatNYA. Dalihnya, karena kenikmatan bulan Ramadhan
tak lagi terasa.
Tapi, kenikmatan yang seperti
apa?
Mungkin, dalam pandangan
positif yang bisa kita coba bangun, kenikmatan yang dia maksud seperti misalnya
Tarawih di masjid, Sholat malam berjamaah, atau ya sekadar dalam kerangka
suasana Ramadhan, semisal: nuansa-nuansa ngabuburit bersama, ramainya jalanan
dengan para penjaja menjelang berbuka, sampai gema lagu-lagu rohani menggaung
di setiap toa masjid yang sepotong-sepotong bisa kita dengar sembari pulang
kerja.
Itu semua, pada bulan puasa
ini, tak lagi ada. Sehingga, teman saya katakan, Alloh cabut Rahmat Ramadhan.
Hmm… Apa iya?
Ihwal sholat tarawih dan
sholat malam, bukankah sebenarnya memang dikerjakan Rasul di rumah saja? Bahkan
kalau kita mau mengangkat-angkat soal hukumnya, banyak dari kita sudah tahu
bahwa itu sunnah saja. Tiada dosa sekalipun harus kita tinggalkan,
meskipun, ya, tetap sayang.
Jangan-jangan, kegundahan kita
atas kehilangan Tarawih atau Sholat malam itu, bukan karena hilang sholatnya,
tapi sekali lagi, karena tak merasakan suasana biasanya. Ramai-ramainya,
kumpul-kumpulnya, atau seru-serunya. Kita cemas pada ketiadaan sensasi
Ramadhan, sedang pada saat yang sama mungkin kita cuek saja pada esensi
peribadatannya.
Dengan menjalani ibadah
sendiri-sendiri di rumah, boleh jadi, kita akan mengalami privilege
untuk benar-benar menjalani sholat Tarawih, Sholat Malam, dan segala bentuk
ibadah Ramadhan hingga kedalaman esensinya, menyelam sampai pada hakekat ibadah
yang sebenar-benarnya. Lepas dari segala nuansa sosial, melainkan benar-benar ‘berdua-duaan’
dalam kemesraan denganNYA.
Bukankah itu yang hari-hari
ini kita butuhkan? Dan bukankah memang kita ini jarang berinteraksi dengan Tuhan
secara sungguh-sungguh? Juga bukankah puasa, dan segala ibadah Ramadhan lainnya,
adalah wadah yang disediakanNYA sebagai fasilitas untuk mengeratkan kembali
hubungan itu?
Jangankan dengan Tuhan, dengan
diri sendiri saja kita mungkin jarang menyapa. Boleh jadi, kita sudah tak kenal
lagi diri sendiri. Lupa siapa kita, dari mana berasal, dan akan kemana kita
pulang. Umur dan hari-hari kita habis begitu saja dalam kealpaan sangkan
paran.
Bukankah, dengan adanya
Ramadhan yang ditemani Corona, kita menjadi semakin longgar untuk bisa mengarungi
diri sendiri, menyapa kembali jiwa dan batin kita, yang biasanya tertindas dan
tergulung-gulung agenda pekerjaan, proyek, sampai mungkin kita claim
ibadah -meskipun belum tentu bernilai demikian- seperti buka puasa bersama,
tarawih jama’ah, atau maleman 10 hari terakhir.
Man arofa nafsahu, faqod arofa
robbahu.
Dengan kembali mengenal diri sendiri, sejatinya kita sedang menuju kembali pada
Tuhan. Puasa kali ini akan menuntun kita menuju kesana. Meskipun rupanya harus
sedikit dipaksa melalui kehadiran Corona.
YNWA!
ردحذف