PERCIK.ID- Kisaran
sebulan lalu, setelah kurang lebih satu minggu ditemukan kasus Corona di Jogja,
Sang Raja yang merangkap fungsi Gubernur, akhirnya mengeluarkan statement
dengan diawali permohonan maaf. Pernyataan resmi dari Sultan Hemengkubuwono X
yang disampaikan dalam Bahasa Jawa dan Indonesia itu kemudian dinamai “Sapa Aruh”
yang pada intinya kurang lebih berupa himbauan pada masyarakat Jogja dalam
menanggapi virus Corona.
Pada
Sapa Aruh yang dikeluarkan Sultan X ini, saya melihat banyak respon dan
komentar miring dari warga dunia maya. Tak sedikit yang mempertanyakan dan
menilai ketidakjelasannya, apalagi jika mengingat kasus Corona sudah bergulir
beberapa hari di Jogja. Salah satu kawan saya bahkan mengatakan pernyataan
Sultan dalam Sapa Aruh-nya itu, tak lebih dari curhat-curhatan saja.
Tidak ada kejelasan taktis, apalagi berbentuk kebijakan pemerintah daerah,
misalnya.
Meskipun
demikian, pada kenyataannya di lapangan, satu hari setelah Sapa Aruh
dikeluarkan, banyak kawasan pedesaan menerapkan lock down mandiri.
Kampung halaman saya di Sleman misalnya, menutup jalan-jalan utama dan
menyisakan satu akses keluar masuk yang dijaga pemuda desa lengkap dengan
senjata semprotan manuk berisi cairan disinfektan.
Entah
inisiatif itu tumbuh sebab masyarakat memang paham sendiri dari edukasi yang
didapatnya melalui media, ataukah itu sebentuk kepatuhan pada Sultan yang telah
menunjukkan sikap? Saya kira pengaruh dari keduanya. Baik itu keterbukaan berpikir
dan kecerdasan warga, sekaligus juga pemahaman kultural pada bahasa Raja
mereka.
Saya
jadi ingat beberapa tahun silam ketika Jogja dilanda bencana gempa bumi. Rakyat
serempak membuat sayur lodeh dan menanam koin 100 perak bergambar gunungan di
depan rumah. Ini juga perintah Keraton. Dan dipatuhi, tanpa banyak pertanyaan
dan sanggahan. Anjuran demikian, dikala kondisi kritis dan butuh
langkah-langkah taktis, apakah bisa dikategorikan masuk standard public policy yang
baik menurut penilaian orang modern? Ya jelas tidak!
Saya
tak sedang membela praktek-praktek demikian. Saya hanya sedang mengajak kita
semua untuk memahami cara orang membangun konstruksi sosialnya masing-masing
yang mungkin sangat berbeda dengan kebanyakan kita yang kini sedikit-sedikit
melandaskan pada standard-standard dari luar, dimana sayangnya kita anggap itu
semua lebih maju dan modern, padahal nggak kita banget.
Terlepas
dari seberapa efektif Sapa Aruh dalam menanggulangi Corona, kita dapat fakta
bahwa untuk orang Jogja, rupanya komunikasi tak melulu harus berupa ucapan
dalam detail-detail penjelasan. Mereka juga tak selalu butuh peraturan untuk
sekadar patuh dan peduli pada sesama. Sebab bagi mereka, pikiran dan tindakan
lebih dilandaskan pada roso pangroso. Sikap jiwa orang Jawa
yang sudah sangat tua dan dalam, mendorong mereka mampu mengerti dan menyikapi
keadaan tanpa harus banyak diarahkan.
Seperti
terkutip dalam Tempo edisi khusus yang membahas Sultan IX (ayah Sultan yang
sekarang), beliau memutuskan bergabung dalam NKRI tanpa pertimbangan panjang,
meskipun kelak itu membawa konsekuensi yang membuat Jogja menanggung banyak
kebutuhan orok NKRI. Cukup tiga hari semenjak merah putih berkibar di langit
Pegangsaan Timur pada Jum’at pagi, Sultan IX menyatakan Jogja adalah bagian
dari NKRI.
Pertimbangan
utama beliau hanya satu, sama persis ketika meneken perjanjian dengan belanda,
atau mungkin pada setiap kebijakan yang diambilnya, yakni berdasar atas: wisik.
Suara hati. Ilham yang datang bukan dari rasio pikiran. Pada bahasa agama, jangan-jangan
itukah yang disebut dengan fatwa hati?
Entah.
Yang pasti kini, semua itu hanya tampak seperti curhat-curhatan tanpa
arti.
www.percik.id
ردحذفEnggar Amretacahya
Curhatan Sang Raja