PERCIK.ID- Tak
berhenti di pesantren Cepoko, Mbah Ma’roef melanjutkan perburuan ilmunya ke
Semarang. Beliau ingin menimba ilmu pada ulama besar pada saat itu. Kiai Soleh
Ndarat. Genap dua tahun nyantri di Kiai Soleh Ndarat ia lanjutkan pencarian
ilmunya ke Langitan, Tuban. Setahun di Langitan Mbah Ma’roef pulang ke Kediri.
Mbah Ma’roef pun menakhiri masa lajangnya dengan menikahi Nyai Hasanah puteri
dari Kiai Soleh Banjarmlati.
Meski
sudah menikah, ternyata tak mengurangi kehausan Mbah Ma’roef akan ilmu.
Terbukti dua tahun setelah menikah dan dikaruniai seorang putera, Mbah Ma’roef
melanjutkan perburuan ilmunya. Atas izin isterinya, Mbah Ma’roef pun melanjutkan rihlah ilmiahnya. Kali ini
pesantren yang dituju adalah pesantren Demangan, Bangkalan Madura di bawah
asuhan Syaikhona Kholil Bangkalan.
Saat tiba
di Demangan beliau disambut dengan satu nampan besar yang berisi nasi dan
lauknya. Oleh Kiai Kholil Mbah Ma’roef diperintahkan untuk menghabiskan nasi
itu. Mbah Ma’roef yang sudah terbiasa dengan puasa dan berlapar-lapar tentu tak
akan mampu menghabiskan nasi sebanyak itu. Di sampaingnya, Kiai Kholil berdiri
membawa tongkat, yang siap diayunkan ke Mbah Ma’roef apabila tidak mampu
menghabiskan nasi itu.
Mbah Ma’roef
yang dikenal mempunyai banyak do’a ampuh, kali ini pun menggunakan karomahnya
itu. Setelah membaca do’a, ternayta nasi senampan itu berhasil dihabiskan oleh
Mbah Ma’roef. Melihat hal itu Kiai Kholil seketika berkata, “Ini orangnya yang
akan menghabiskan ilmuku.”
Terus
Beriyadhoh
Nyantri
di Kiai Kholil tak menghilangkan kebiasaan lama Mbah Ma’roef, riyadhoh. Di
pesantren Demangan intensitas riayadhoh Mbah Ma’roef justru kian menjadi-jadi.
Di Demangan ini Mbah Ma’roef punya kebiasaan baru, ziaroh ke makam-makam keramat
para auliya di Madura. Tak hanya ziarah, Mbah Ma’roef tirakat sebelum
mendatangi makam-makam itu.
Sedemikian
banyak makam keramat yang Mbah Ma’roef datangi, namun semuanya memberikan
jawaban yang mengecewakan Mbah Ma’roef. Kalau ingin alim ya harus belajar dulu.
Terakhir,
Mbah Ma’roef riyadhoh di makam Bujuk Sangkak. Di makam ini ia ditemui oleh shohibul
makam. Mbah Ma’roef menangis, sedih dan hampir putus asa, karena riyadhoh yang
sedemikian keras, ternyata menurut shohibul makam masih kurang. Mbah Ma’roef
melaporkan apa yang dialaminya kepada Kiai Kholil. Sang guru pun memberi
petunjuk agar Mbah Ma’roef riyadhoh di makam ulama besar, Mbah Abu Syamsuddin
di Batu Ampar. Dawuh Kiai Kholil, siapa yang mengkhatamkan al-Qur’an sekali
duduk, apapun keinginannya bakal tercapai.
Selesai
mengkhatamkan al-Qur’an di makam Batu Ampar, seketika angin lesus menerjang
tubuh Mbah Ma’roef. Perasaan Mbah Ma’roef saat itu, kepalanya dipegang dan
ditumpleki nasi kuning hingga ia muntah berak. Konon itu adalah proses Mbah
Ma’roef memperoleh ilmu laduni. Sejak saat itu seluruh kitab yang ada di pondok
Kiai Kholil pun Mbah Ma’roef kuasai.
Dari pesantren
Demangan ini Mbah Ma’roef mempunyai banyak teman yang kemudian hari juga
menjadi kiai besar. Di antara mereka adalah Mbah Manab. Alias Kiai Abdul Karim
yang kelak mendirikan Pesantren Lirboyo Kediri. Pesantren ini hanya berjarak 1
kilometer dengan pesanteren Kedunglo yang didirikan Mbah Ma’roef. Mbah Manab
juga menjadi menantu Kiai Sholeh Banjarmlati. Ini berarti isteri Mbah Ma’roef
dan isteri Mbah Manab adalah kakak beradik.
Sekitar
tahun 1887 Kyai kholil berrencana melaksanakan ibadah haji. Kiai Kholil
berencana menyerahkan pengelolaan pesantren kepada Mbah Ma’roef, selama ia di Mekkah.
Namun Mbah Ma’roef dengan rendah hati, merasa tidak pantas untuk mendapatkan
amanah itu. Malahan, Mbah Ma’roef meminta nderekaken Kiai Kholil
untuk ikut ke tanah suci.
Sebelum
berangkat ke tanah suci, Kiai Kholil menyuruh Mbah Ma’roef untuk kembali
beriyadhoh di Batu Ampar. Konon, pasca Mbah Ma’roef riyadhoh, setiap peziarah di Batu Ampar di-impeni
Mbah Syamsyuddin agar memberi uang saku ke Mbah Ma’roef yang akan menemani
gurunya ke tanah suci.
Akhirnya
berangkatlah Kiai Kholil dan juga Mbah Ma’roef ke tanah suci. Setelah menyempurnakan
rukun islam yang kelima. Mbah Ma’roef menetap di Makkah kurang lebih 7 tahun
untuk studi dan membuat rumah di sana.
Kepada
para santrinya Mbah Ma’roef tidak pernah bercerita detail siapa saja gurunya
selama di Makkah. Namun karena Mbah Ma’roef di Makkah antara tahun 1887-1894,
dapat diduga kuat bahwa guru-gurunya adalah, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh
Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudz at-Tremasi, Sayyid Abbas al-Yamani,
Sayyid Zaini Dahlan dan lain-lain.
Sementara
itu teman-teman Mbah Ma’roef saat belajar di Makkah antara lain, Syaikh Hasyim
Asy’ari, Kiai Zaini Mun’im, Kiai Abdullah Mubarok dan lainl-lain. Sambil
belajar Mbah Ma’roef sendiri rupanya juga mempunyai halaqoh di Masjidil Harom.
Terbukti sekembalinya dari Makkah, Mbah Ma’roef sering kedatangan tamu para
ulama dari Jazirah Arab.
Referensi:
-Antologi
NU Buku I
-The
Founding Fathers of NU
-Napak
Tilas Masyayikh Buku III
-Majalah
Aham Edisi 34 April 2001
percik.id
ردحذفZaenal Abidin el-Jambey
KH. Muhammad Ma’roef; Pewaris Ilmu Kiai Kholil (2)