PERCIK.ID- Lepas sahur, dua kawan baik itu duduk-duduk di cangkruk
bambu depan rumah, menunggu imsak sambil menghisap kretek dan menikmati kolak
pisang sisa semalam.
“Eh, Kang, sampeyan
tahu berita yang ramai di media sosial itu? Soal petani Kendeng yang demo
di area pertambangan desa mereka?” Agar tak diserang kantuk, Misbah membuka
obrolan.
“Oh, yang itu. Tahu saya, Mis. Yang dibubarin paksa
sambil diancam-ancam sama cukongnya itu, tho?” timpal Kang Salim.
“Iya, Kang. Maksudnya kok tega bener gitu ya. Saya ini
emang goblok, Kang, kurang pergaulan. Tapi kalau masalah kemanusiaan semacam
ini, saya jadi ikut terusik.”
“Wah, itu tandanya sampeyan
masih jadi manusia, Mis.”
“Lah, selama ini saya kan emang manusia, Kang. Dikira pretelan baut motor?” protes Misbah atas
ucapan Kang Salim yang menyinggung jatidirinya sebagai manusia.
“Hehehe ya kan ada tho, Mis, manusia yang nggak manusia babar blas. Contohnya para cukong yang
ngusirin petani Kendeng tempo waktu itu,” respon Kang Salim santai.
“Terus, kalau mereka itu manusia yang nggak manusia, yang
manusia tapi juga manusia itu yang seperti apa dong, Kang?” kini Misbah
garuk-garuk kepala kerena otaknya tidak sampai. “Kalau manusia purba baru tuh,
Kang, manusia tapi nggak manusia. Semi kunyuk
(kera).”
“Bisa panjang kalau harus dijelasin. Bisa sampai besok
sahur lagi. Tapi coba saya uraikan dengan seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya ya, Mis.”
“Saya pernah baca tulisannya Ali Shariati..”
“Loh, tokoh Syiah itu, Kang?” belum juga purna dengan
kalimat pertamanya, Kang Salim sudah disergah saja oleh Misbah.
“Astaghfirullah, tunggu dulu tho, Mis. Biar saya mulai
pelan-pelan. Iya, ini saya mengutip tokoh Syiah. Belajar itu kan nggak terbatas
dengan siapa tho, Mis. Asal ada baiknya dan nggak merusak akidah kita kan no problem.”
“Hehehe ya sorry, Kang.
Aneh saja gitu, saya yang penganut Syafi’i ini harus denger kutipan dari tokoh
Syiah. Ya sudah, Kang, lanjuuut.”
“Manusia itu diciptakan dari dua unsur, yaitu tanah atau
lumpur dan ruh Alloh. Tanah atau lumpur adalah simbol kehinaan dan keburukan,
sementara ruh Alloh gambaran bahwa dalam diri manusia terdapat juga sifat-sifat
Ilahiah. Bahasa kerennya theomorfis; kenyataan bahwa di dalam diri manusia ada
potensi ketuhanan.”
“Bingung, Kang.”
“Baik, biar lebih mudah saya pakai bahasa Rumi saja kalau
gitu. Manusia itu merupakan bayangan dari Alloh. Yang namanya bayangan pastinya
kan ngikut apa kata yang punya bayangan tho, Mis. Kalau si empunya bayangan
merentangkan tangan, si bayangan tentu berlaku serupa. Kalau si pemilik
bayangan berlari, jelas bayangannya juga turut berlari. Artinya, kalau kita ini
bayangan dan Alloh adalah si pemilik bayangan tersebut, seharusnya kita ini
ngikut apa yang Alloh kerjakan, dong.”
“Yang Alloh kerjakan? Yang seperti apa tuh, Kang?”
“Sebelum ke sana, coba kita kenalan dulu sama konsep
ketuhanannya Ibnu Arobi yang saya comot dari keterangannya Gus Ulil Abshar
Abdalla. Begini, Mengenali Alloh itu ada di dua posisi. Pertama, bahwa Alloh
itu al-Muthlaq, yang Maha Mutlak.
Kalau yang satu ini kita sudah nggak bisa menalar Alloh itu kayak gimana.
Misalnya ada ayat yang menyebut kalau Alloh itu duduk di atas singgasana. Nah,
di jalur yang ini kita nggak bisa membayangkan singgasana Alloh itu apakah
seperti singgasana raja yang sering kita lihat di TV atau gimana.” Kang Salim
mengambil sedikit jeda untuk kemudian melanjutkan;
“Alloh dalam posisinya yang pertama ini bener-bener
mutlak nggak bisa dikira-kira. Bahasa Alquran-nya la tudrikuhu al-abshar wa hua yudriku al-abshar. Tidak terlihat
oleh kita, tapi senantiasa mengawasi kita. Persis seperti analogi
‘bayangan’-nya Rumi. Alloh itu pemilik bayangan, jadi bisa mengawasi
gerak-gerik bayangannya sendiri. Sementara kita sebagai bayangan, nggak bisa
melihat sosok yang membentuk bayangan.”
“Oh, paham saya, Kang. Istilah Jawanya itu tan keno kiniro, tan kena kinoyo ngopo, yen
iya malah dudu. Eh, bener nggak tho, Kang?”
“Tepat. Tumben encer, Mis,” ledek Kang Salim. “Jadi di
posisi pertama ini Alloh itu sejatinya emang nggak bisa dikira-kira, nggak bisa
didefinisikan, dan seandainya bisa, justru itu bukan Alloh. Sekarang kita
kenali Alloh di posisinya yang kedua. Alloh itu al-mu’taqodat, Mis. Bisa dipahami melalui sifat-sifatnya yang sudah
kita kenal. Asmaul Husna itu lah gampangnya.”
“Nah kembali ke awal sekarang. Menirukan apa yang
dikerjakan Alloh dalam hal ini adalah dengan meniru sifat-sifat Alloh paling
minimum. Secara universal, Mis, sifat Alloh itu pengasih dan penyayang. Jadi,
itu yang harus kita tiru sebagai bayanganNYA. Kita harus memiliki sifat welas asih terhadap sesama makhluk Alloh.
Baik sesama manusia, hewan, maupun alam.”
“Dengan kata lain, kenapa manusia disebut sebagai kholifah atau wakil Alloh di muka bumi?
Nggak lain karena manusia harus membawa sifat-sifat ke-Ilahian itu ya, Kang.
Dalam artian nggak boleh berlaku dzolim dan berbuat kerusakan.”
“Persis sekali, Mis. Makin tokcer saja sampeyan ini, hahaha.” Mendengar itu,
Misbah tersipu.
“Ada Hadis yang berbunyi, al-insanu sirri wa ana sirruhu. Manusia itu adalah rasa Kami (Alloh)
dan Kami adalah rasa manusia.”
“Itu ada di ajaran Jawa juga loh, Kang. Dalam ajaran Wirid Hidayat Jati ada yang namanya Gelaran Kahahnaning Dat. Dalam bagian
ini dijelaskan bahwa sejatine manungso
iku rahsaningsun lan ingsung iki rahsane manungso. Kurang lebih sama
maksudnya dengan Hadis yang sampeyan sebut
tadi.”
“Makin cakep saja sampeyan,
Mis, hahaha. Iya, betul seperti itu, Mis. Sederhananya, manusia adalah
bagian dari Alloh dan Alloh adalah bagian dari manusia. Seperti konsep bayangan
tadi.”
“Kesimpulannya, Kang? Udah mau subuh ini hehehe.”
“Kesimpulannya, seseorang bisa disebut sebagai manusia
yang manusia itu kalau dia memiliki sifat kasih sayang, nggak dzolim, dan nggak
merusak. Harus mewakili sifat-sifat ketuhanan. Itulah kenapa hadisnya berbunyi,
man arofa nafsahu fa qod arofa robbahu. Kenali
dirimu sendiri maka kamu akan kenal Tuhan. Mengenali diri sendiri itu sama
dengan mengenal Tuhan karena kita ini bagian dariNYA. Mengenal bayangan maka
bakal kenal juga sama si pemilik bayangan.”
“Wahhh.. ana
al-Haqq.” Seloroh Misbah yang entah sadar atau tidak.
Aly Reza