Sebelumnya: Pergulatan Muslim dalam Peradaban Uang (1)
PERCIK.ID- Seperti telah saya angkat pada tulisan sebelumnya soal tantangan yang, mau
tak mau, harus dialami oleh semua orang atas tuntutan era modern-kapitalis,
maka sebagai bagian dari yang mengaku umat Muslim, siapapun dia harus menemukan
titik temu yang presisi.
Menentukan keseimbangan antara spirit Islam dengan dunia modern yang serba
materialistik adalah pekerjaan yang wajib kita tuntaskan.
Kalau boleh jujur terbuka, secara pribadi, kegundahan soal benturan Islam dan
Kemodernan (materialisme – kapitalisme – duit-duitan) sudah beberapa
waktu saya alami. Sebagai pedagang yang harus bergulat dengan bathi, maka mikir
uang kan pasti to Mas?
Sedang pada saat yang sama, Islam mengajarkan kita untuk tak materialistis.
Untuk berpikir jangka panjang dan tak duniawi. Padahal soal dagang ini
kan kadonyan banget habitatnya. Meskipun, menurut
beberapa teman pedagang golongam putih, dagang yang berpatok pada akherat
adalah niscaya.
Tapi, bertujuan akherat yang seperti apa? Bagaimana penerapan mencari
profit sebanyak-banyaknya untuk akherat? Mencari dunia untuk akherat? Bisa
gitu? Bukannya kita harus mendahulukan akherat pada prioritas utama? Kok
kebalik-balik begitu, sich…
Pada saat yang sama, saya juga yakin bahwa praktik mengejar akherat, tak
melulu dengan menghabiskan hari-hari hanya di masjid. Apalagi kok terus menjadi
Ustadz misalnya. Lha Ustadz kok dijadikan profesi?
Maka, sekali lagi, menemukan keseimbangan laku modern dengan spirit Islam
harus saya temukan. Minimal, agar tak oleng karena bingung menghadapi tanggung
jawab harian. Islam yang konon katanya rohmatan lil alamin ini, harus bisa menjawab
tantangan, di zaman apapun. Termasuk keruwetan zaman yang kayaknya paling edan
ini.
Solusi sementara yang bisa saya ketengahkan, kira-kira sepertinya ini:
Islam harus menjadi fondasi nilai dalam tataran jiwa dan kesadaran setiap kita
yang harus berkutat dengan materialisme dan kapitalisme zaman.
Bahwa kita anggap zaman -dengan kegendengannya pada uang dan materi
lainnya- ini kotor dan najis, maka memang begitulah kondisinya. Saya sepenuhnya
setuju. Tapi, najis selalu ada pada ranah fisik saja, bukan? Tak pernah kotoran
bisa mengotori jiwa yang dijaga suci.
Bahwa Anda harus kotor tubuh Anda karena masuk ke dalam got, tak akan mengurangi
kemuliaan pribadi Anda kiranya itu memang satu-satunya pilihan untuk
menyelesaikan masalah banjir yang tak pernah usai di kampung Anda.
Justru kotor yang demikian malah tampak indah. Dan kemuliaan pribadi yang
mau berkotor-kotor demi kepentingan diluar dirinya itu, tak akan terbit dari
hati yang tidak suci dan memahami Islam secara presisi.
Maka, sejauh yang saya pahami hingga saat ini, solusi jitu mengarungi
lautan modernisme dan jaman edan, sekali lagi, adalah dengan menjaga kesadaran
dan lelaku hati. Spirit Islam harus menghujam dalam dan tumbuh subur dalam jiwa
dan kesadaran kita.
Dengan demikian, jikalau harus saling tawar menawar untuk menemukan harga
terbaik, Anda masih bisa sampai pada kesadaran untuk mempertimbangkan kebutuhan
keluarga lawan negosiasi Anda. Atau kiranya Anda adalah seorang penanggung
jawab lapangan, maka tak kemudian Anda memaksakan pekerja untuk menerjang
waktu-waktu istirahat dan ibadahnya.
Atau beragam hal-hal kecil disekitar kita yang menjadi mulia karena berangkat
dari kesadaran akan nilai-nilai yang kita dapati dalam ajaran agama.
Meskipun Islamnya tak selalu terlihat karena amat sangat privat, tiadalah
mengapa asal itu menjaga kewarasan dalam dunia yang semakin tidak masuk akal.