PERCIK.ID- Ada
beberapa unsur yang membuat manusia bisa dikatakan hidup. Dunia medis
menyebutkan otak dan jantunglah yang membuat manusia bergerak dan menjalani
kehidupan. Disusul teori adanya ruh yang bersemayam di dalam jasad yang membuat
organ tersebut bisa hidup. Yang kelak diketahui, manusia terdiri atas dua
unsur. Jasmanai dan ruhani.
Tidak berhenti di situ. Manusia juga butuh sesuatu yang disebut harapan. Sebuah kekuatan besar yang diciptakan mereka sendiri, sebagai tameng dan kekuatan melawan dunia selama beberapa lama nanti.
Manusia
butuh jantung yang terus berdetak, otak yang berfungsi, juga ruh yang menetap.
Tapi unsur-unsur ini butuh alasan khusus, mengapa mereka harus tetap hidup.
Pada
Tuhan, beberapa manusia menitipkan harapan, dengan atau tanpa sadar. Berupa do’a-do’a
panjang yang terus dipanjatkan, dan saat mereka menunggu, di masa itu, kekuatan
harapan menjadi alasan utama mereka bertahan.
***
Ada
satu perbedaan kontras antara Tuhan dan manusia: manusia, ketika dimintai
materi secara berkala, akan bosan dan risih. Tuhan justru sebaliknya. Malah
suka. Sejalan dengan itu, al-Zuhaili, dalam tafsirnya, Menulis,
إذا لم يسأل غضب
Ketika
DIA tidak dimintai apa-apa, niscaya DIA akan marah!
Namun
demikian, permintaan kepada Tuhan kadang diasumsikan sama seperti transaksi
barter. Dimana kita memberikan beberapa kalimat berisi impian, pengharapan,
keinginan, dan menengadahkan tangan, Tuhan pun harus menukar semua aktivitas
tersebut dengan semua materi yang telah kita sebutkan saat menengadahkan
tangan.
Lantas,
bagaimana DIA akan menerima do’a kita? Tahukah IA apa yang kita mau? Melihatkah
IA bagaimana kita berusaha? Dimana-kah sebenarnya IA? Dekatkah sebagaimana
disebutkan oleh pemuka agama? Atau justru jauh, tak terjangkau dan tak tersentuh
sebagaimana diwacanakan para Atheis?
Al-Qur’an
menjawab ini dengan apik,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا
بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُون
Dan apabila
hamba-hamba-KU bertanya kepadamu (Muhammad) tentang AKU, maka sesungguhnya AKU
dekat. AKU Kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia berdoa kepadaKU.
Hendaklah mereka itu memenuhi [perintah]-KU dan beriman kepada-KU, agar mereka
memperoleh kebenaran. (Qs.al-Baqoroh
[2]: 186).
Ibnu Kathir menulis satu
hadith yang mengisahkan seorang badui, yang bertanya tentang dimana Alloh
kepada Njeng Nabi. Dekatkah kita denganNYA, atau justru sebaliknya?
Jawaban yang diberikan
Nabi (menurut yang ditulis Ibnu Kathir) adalah diam. Kemudian ayat tersebut
turun menuturkan jawaban. Dan apabila hamba-hamba-KU bertanya kepadamu [Muhammad]
tentang AKU, maka sesungguhnya AKU dekat.
Al-Zuhaili dalam
tafsirnya, membabar qorib (dekat)-nya Alloh, bukan dengan diameter,
jarak, atau apapun yang biasa kita kenal dengan jauh dan dekatnya sesuatu dari
jangkauan. Melainkan dengan sifat Alloh Mahatahu ahwal hambaNYA, Mahamendengar keluh
kesah makhlukNYA.
Maka, lewat kedekatan
inilah, Tuhan berkata dan memerintahkan,
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Berdo’alah
kepadaKU, niscaya AKU perkenankan bagimu.
Sebagaimana
disinggung di atas, ayat ini kerapkali disalahpahami. Hampir semua kita gemar
mendikotomi keadaan, “kita berdo'a, dan Tuhan, mau tidak mau harus mengabulkan.”
Padahal,
kesaktian do’a tidak melulu berbentuk wujudnya apa yang kita semogakan.
Kalaupun ia, benar terwujud, ia merupakan hadiah dari DIA. Atas maunya kita
menuruti apa yang DIA perintahkan. Berdo’a.
Ya,
harusnya do’a dipahami sebagai kebaktian kita sebagai hambaNYA. Diperintah
berdo’a, ya berdo’a saja. Agar masih nampak, kalau semua kita ini adalah
manusia. hambaNYA. Seperti dalam istilah
orang Jawa, “ngesto’aken dawuh”, atau istilah orang Madura, “ngereng
debu”.
Urusan
diberi atau tidak, itu urusanNYA. Bukankah dapat mengangkat tangan adalah
pemberianNYA? Bukankah bisa mengucap Allohumma adalah pemberianNYA?
Bukankah bisa menengadahkan tangan, dan menyandarkan urusan kepadanya adalah
pemberianNYA?
Diberi
nikmat mampu mengangkat tangan dan berdo’a, dititipi satu hal istimewa berupa
iman, adalah pemberianNYA yang tak terbilang. Saya rasa, siapapun dapat
membayangkan, bagaimana sulitnya menentang diri sendiri yang sebenarnya butuh
pada kekuatan di luar diri, tidak mau berdo’a dan mempercayainya. Harapannya
akan hampa. Seisi dadanya akan dicekik sepi nan sunyi, karena memasrahkan
segala hal (hanya) pada dirinya sendiri.
Sebagai
penutup, mari kita baca (ulang) mutiara hikmah Ibnu Atho’illah dalam Al-Hikam-nya,
لا يكن تأخر أمد العطاء مع الإلحاح في الدعاء - موجبا
ليأسك ؛ فهو ضمن لك الإجابة فيما يختاره لك لا فما تختار لنفسك وفي الوقت الذي
يريد ، لا في الوقت الذي تريد .
"Janganlah engkau putus asa karena
tertundanya pemberian, padahal engkau telah mengulang-ulang do’a. Alloh
menjamin pengabulan do’a sesuai dengan apa yang DIA pilih untukmu, bukan
menurut apa yang engkau pilih sendiri, dan pada saat yang DIA kehendaki, bukan
pada waktu yang engkau ingini".
Dan
ya, semoga dalam keadaan bahagia atau sulit, sehat atau sakit, DIA sudi
mempercayakan iman di dada kita semua atasNYA Semoga apa yang menjadi harapan,
cita-cita, dan impian kita, dikabulkanNYA dalam waktu yang paling tepat, dan
cara terbaik yang dipilihNYA. Semoga.
Alloh
Knows Best!
Percik.id: Dia, Kita, dan Doa
ردحذفLifa Ainur Rohmah