PERCIK.ID- Seorang pebisnis senior
mengatakan kepada saya, bahwa keadaan pandemi begini, meskipun PSBB telah
dihentikan, new normal mulai dicanangkan -aktivitas kerja berjalan,
orang-orang keluar rumah, jalanan kembali ramai- namun usaha dagangnya tetap
terasa seolah-olah lockdown. Tak hanya soal sepinya penjualan, lebih
dari itu, dia ingin mengatakan bahwa dia sedang megalami kebuntuan pandang.
Memang, bisnis atau dagang
adalah soal prospek. Sementara dalam kondisi demikian, prospek seperti apa yang
bisa dikemukakan? Rencana seperti apa coba yang bisa dibangun dengan
keterbatasan identifikasi kondisi seperti ini? Memandang kedepan, yang terlihat
hanya gelap.
Barangkali, supaya menguatkan
mental juang, para pedagang perlu mengingat ulang cerita tentang seorang
pebisnis yang meraup untung berkali-kali lipat justru karena adanya wabah.
Sudah jelas dia bukan orang
sekitaran hari ini, bukan taipan-taipan konglomerasi raksasa, juga bukan pengusaha
modern ala Forbes, meskipun boleh jadi kekayaannya jauh melebihi kelas-kelas
pengusaha itu. Inilah dia, sang saudagar yang gelisah hatinya karena takut
terakhir masuk surga, bernama: Abdurrahman bin Auf.
Seperti yang telah kita tau,
beliau awalnya justru berniat rugi dengan membeli kurma busuk yang tak terurus
karena ditinggalkan para pemiliknya untuk pergi Perang Tabuk. Maka dari sinilah
perhitungan bangkrut tadi bisa tercapai. Kurma busuk dibeli harga normal, lalu
dijual lagi dengan harga rendah. Buntung!
“Yes, bangkrut!” ujar Abdurrahman yang mulai
optimis bisa masuk surga di awal bareng Rasul.
Mungkin kita tak usah membahas
jauh soal motivasi rugi yang beliau kejar. Karena menjabarkan masalah
perhitungan akherat yang membuat Abdurrahman takut bukan kepalang sebab harus
merangkak terakhir masuk surga itu, jelas bukan hal menarik kan buat
sebagian besar kita. Jadi cukup renungi saja sendiri-sendiri.
Yang pasti menarik adalah
kejadian setelah kurma busuk itu dimakan oleh beberapa orang mbambung yang
terkena sakit wabah di Yaman. Mereka-mereka ini, setelah melahap kurma busuk
itu, justru mendapati tubuh mereka kian hari kian sehat. Maka disimpulkanlah,
kurma busuk adalah obat. Bersegera Amir Yaman mengirimkan utusan untuk mencari supply
kurma busuk dari manapun asalnya.
Rasa tanggung jawab Amir Yaman
dalam menangani wabah dan mengutamakan keselamatan rakyat, melahirkan kebijakan
penggelontoran APBN untuk pembelian kurma dengan harga sepuluh kali lipat
biasanya. Termasuk akhirnya dibelilah kurma busuk dari Madinah yang kesemuanya
dimiliki Abdurrahman...“Welahdalah, tetep bathi..”
Pada akhirnya, kita bisa
mencatat bahwa soal takdir adalah mutlak bukan milik kita. Mungkin kita sangat
bisa khianat dan munafik pada Alloh, RasulNYA, KitabNYA, MalaikatNYA, tapi yang
pasti, kita tak bisa berpaling dari Qodho’ dan QodarNYA.
Usaha kita, pilihan-pilihan
kita, strategi-perencanaan, hingga segala langkah taktis yang kita tempuh,
sekuat apapun kita dobrak-kan pada pintu takdir Alloh, tidak akan mampu
menjebolnya. Takdir telah ditetapkan, kita murni hanya menjalani ketetapan itu.
Namun jangan kemudian
diartikan, bahwa jika ketetapan hasil itu telah ada, maka tak perlu kiranya
kita berusaha. Lha yo pekok.
Usaha dan hasil, dalam
pandangan Muslim sejati adalah dua soal yang tak melulu berhubungan sebab-akibat
secara linier. Seperti contoh menggembirakan Abdurrahman di atas, usahanya
menuju bangkrut berakhir untung. Maunya menuju selatan, sampainya di utara.
Lho memang pada akhirnya hasil
kan terserah-serah DIA. Bebas saja Alloh menentukan akan memberi apa pada
hambanya. Wong Dia Maha Kuasa, jadi ya Sak Karepe to.
Dan bukankah kita yang telah
mengaku memahami itu, juga harus menyadari bahwa memang posisi kita yang sekadar
hamba ini ya sudah semestinya manut saja pada Tuannya. Diberi oke, ndak
diberi ya sudah. Kan gitu harusnya sikap hamba.
Tapi kadang memang kita ini over-PD.
Kita dengan segala kecerdasan, ketangkasan, keterampilan manusia modern, merasa
seolah-olah punya nilai tawar pada Tuhan. Kita hitung segala usaha dan ikhtiar
kita sebagai amunisi negosiasi dengan Tuhan.
Jika kita sudah menanam padi,
maka gabah haruslah kita panen. Jika kita telah beribadah, maka pahala sudah semestinya
kita kantongi. Kita letakkan Alloh tak lagi sebagai Tuhan, melainkan sebagai
lawan dagang.
Padahal, dengan kembali pada
konteks kehambaan tadi, kita akan tertolong untuk menyadari bahwa segala bentuk
ikhtiar adalah wujud penghambaan juga padaNYA. Sementara proses penghambaan
itulah esensi ibadah. Ibad, abdi, ibadah, berasal dari satu akar kata
yang sama. Maka, ibadah tak seharusnya kita artikan secara sempit pada solat,
puasa, wiridan, zakat, dan sebagainya.
Aktivitas apapun; kerja,
mengajar, berdagang, semuanya adalah ibadah atau penghambaan pada Tuhan. Sedang
pada saat yang sama, hasil atas segala aktivitas itu juga bebas-bebas DIA. Maka,
itulah kenapa antara hasil dan usaha semestinya tak kita letakkan dalam
hubungan sebab akibat.
Seperti halnya Abdurrahman
yang ikhtiarnya menuju buntung, namun malah berakhir untung. Atau seperti
kebanyakan Anda -yang diam-diam berharap bernasib sama dengan Abdurrahman-, sudah
ikhtiarnya menuju untung, hasilnya pun, tetap saja buntung.