PERCIK.ID- Sutejo (60) selalu
tampak riang dan bersemangat setiap menelusuri jalanan, berpindah dari satu
tong sampah ke tong sampah lain. Memunguti apa saja yang berserakan di tanah
untuk nantinya dikilokan. Bagi Sutejo, memulung adalah pekerjaan yang candu dan
menyenangkan.
Pertemuan saya
dengan Sutejo sebenarnya sudah sejak tiga tahun lalu. Waktu itu saya menemani
kawan saya mencari seorang paranormal untuk mengusir pengaruh jin dalam dirinya.
Dan ketemulah kami dengan Sutejo, seseorang yang suwuknya terkenal ampuh.
Intensitas pertemuan antara saya dengan Sutejo pada akhirnya membuka fakta
bahwa salain bertani, kuli serabutan, dan tentu dukun terkenal, ternyata dia
juga merangkap sebagai pemulung. Dan belakangan baru saya tahu, kalau jenis
profesi yang terakhir adalah pilihan yang paling dia senangi dan ditekuni
hingga saat ini.
Satu kesempatan
Sutejo mengaku bahwa dirinya pernah jadi buruh di salah satu pabrik, namun
memutuskan keluar begitu saja. Alasannya, kerja di pabrik membuatnya kian
tersiksa. Bukan karena besaran upah yang dia terima. Karena baginya, besar atau
kecil yang penting mah ada pemasukan. Katanya sih, selama jadi buruh di pabrik
itu, jiwanya selalu terusik, sering tidur tak jenak. Pokoknya serba tak tenang
gitu, lah. “Aku sering diresahkan dengan gaji yang nunggak. Capek juga harus
terikat waktu kerja.” tutur Sutejo. “Sering iri sama mandor, atasan, dan kadang
iri juga sama sesama buruh yang naik pangkat.” Nah karena, pikiran-pikiran yang
membebaninya tersebutlah akhirnya Sutejo memutuskan untuk berhenti jadi buruh.
Lain kesempatan
Sutejo juga pernah mengaku, jika seandainya saja dia mau, sudah sejak lama dia
bisa jadi orang berpangkat. Katakanlah jadi pejabat kecamatan. Kalau dia
menghendaki pula, hari ini pastinya bisa-bisa saja dia jadi orang yang
bergelimang harta secara instan, tanpa harus repot-repot banting tulang. Kok
bisa? Bisa saja. Persinggungannya dengan dunia mistis memungkinkan semua itu
terjadi.
“Aku itu pernah,
Mas, dikasih tunjuk harta peninggalan Majapahit yang masih terpendam,” akunya
kepada saya. “Setelah aku cek, wuuuhhh itu beratus-ratus peti berisi emas.
Kalau dari awal sudah niat jadi orang kaya, saya ambil satu atau dua peti saja
udah bikin saya tajir melintir, Mas.”
“Hla kok nggak sampeyan ambil? Kan lumayan, tho, Mbah?”
tanya saya penasaran. Jawabannya sungguh di luar apa yang saya duga. “Begini,
Mas, kalau saya ambil terus saya bener-bener jadi kaya, apakah harta saya itu
bisa menjamin saya hidup bahagia? Apakah semua aset yang saya miliki bisa
menjamin saya tidur nyenyak tiap malam? Sebab, nyatanya banyak orang kaya yang
ngenes. Yang saya cari itu cuma kebahagiaan dan ketenangan hati, Mas. Dan harta
nggak menjamin itu, yang ada malah bikin resah. Misalnya, selalu sumpek karena
takut hartanya dimaling orang.”
Setelah memutuskan
untuk jadi pemulung penuh waktu, barulah dia menemukan apa yang selama ini dia
cari; ketenangan. Memulung membuatnya tidak harus iri dengan pendapatan
pemulung yang lain. Karena dalam dunia pemulungan, tidak ada yang namanya mandor
atau kenaikan pangkat. Pemulung ya pemulung, selamanya tetap begitu. Dia juga
merasa lebih bebas karena tidak harus terikat jam kerja. Pokoknya kalau dia
butuh uang, ya dia berangkat. Kalau masih ada persediaan uang ya lanjut
tiduran.
Motif serupa juga
saya catat dari sosok Soesilo Ananta Toer (adik kandung Pram) ketika saya
berkesempatan sowan ke kediamannya di Jl. Pramoedya Ananta Toer 40 Jetis,
Blora, Jawa Tengah, April tahun lalu. Di sisa usia rentanya, dia malah memilih
untuk mengisi waktu dengan jadi pemulung. Padahal seandainya saja
menggantungkan hidup dari menulis, menjadi pembicara, dan tentu dari hasil penerbitan
yang dikelola anaknya, dia toh tak bakal hidup kekurangan. Tapi, baginya,
memulung adalah pekerjaan yang menyimpan sensasi tersendiri.
“Yang terpenting bukan uangnya, tapi
kenikmatan yang saya dapat dari memulung,” tutur Pak Soes. Memulung baginya,
entah kenapa, membuat seluruh hidupnya terasa jauh lebih berharga.
“Karena begini,
Dik, sampah-sampah itu, siapa lagi yang mau memunguti kalau bukan kami para
pemulung? Nah, karena itulah saya merasa sangat berguna. Sesederhana itu,”
terangnya lagi. “Percuma kaya kalau nggak memiliki guna.” Mak jleeebbbb.
Sebagai seorang nihilis, dia mengaku bahwa puncak kenikmatan atau kebahagiaan
hidup hanyalah saat seseorang bisa berguna bagi sekitar. Kalau nggak memberi
kemanfaatan apapun, mending mati saja kalau kata Pak Soes.
Melihat karakter
dan prinsip hidup dari dua sosok tersebut, saya jadi ingat dengan aliran
filsafat Sinisisme yang dipopulerkan oleh Antisthenes di Athena pada 400 SM.
Aliran filsafat ini membentuk cara pikir kita untuk sinis terhadap pola hidup materialistik
yang menganggap kebahagian hidup hanya bisa diperoleh dari besaran kekayaan
yang dimiliki.
Kaum Sinis
menekankan kebahagiaan sejati tidak terletak pada kemewahan materi maupun
jabatan politik. Kebahagiaan sejati adalah ketidaktergantungan pada hal-hal
semacam itu. Oleh karena itulah, siapapun bisa meraihnya tanpa harus menjadi
kaya maupun berpangkat tinggi. Tak terkecuali pemulung pun bisa merasa bahagia
dengan persepsinya sendiri.
Nah, salah satu
tokoh yang terkenal dalam aliran ini adalah murid Antisthenes; Diogenes, yang
hidup di sebuah tong. Pernah suatu ketika Diogenes yang duduk di dekat tongnya
tengah menikmati matahari dihampiri oleh Alexander Agung. Oleh sang Maharaja
dia ditanya, “Kira-kira apakah yang kau butuhkan? Barangkali bisa ku penuhi.”
Dengan mantap dan tegas Diogenes menjawab, “Saya hanya butuh kau bergeser
sedikit. Kau telah menghalangiku dari matahari.”
Diogenes, Pak
Soes, dan Sutejo, telah membuktikan kepada kita semua bahwa hanya dari sebuah
tong (sampah) mereka nyatanya tak kalah bahagia dan kaya dari siapapun yang
telah bergelimang harta. Karena mereka sudah tidak bergantung pada pakem-pakem
tersebut.
Tolok ukur
kebahagiaan Kaum Sinis juga terletak pada efisiensi kegunaan sebuah aset yang
dimiliki. Motto ini diambil dari kisah hidup guru Antisthenes, yakni Socrates.
Satu waktu Socrates berhenti di sebuah kedai, mengamati barang-barang yang
tersedia di sana. Dia kemudian bergumam, “Oh ternyata teramat banyak barang
yang tidak aku butuhkan.”
Misalnya, kita
punya puluhan mobil di garasi. Tapi apakah kesemuanya bakal terpakai? Nyatanya
hanya beberapa bahkan mungkin hanya satu atau dua saja yang sering kita
gunakan. Persis dengan Diogenes yang merasa bahwa dia hanya butuh tong sebagai
tempat tinggal. Yang penting sama gunanya unuk tidur dan berlindung dari hujan
dan terik matahari. Maka, dia sudah tidak butuh istana megah. Konsep ini kalau
bisa kita terapkan dalam banyak sendi kehidupan kita sehari-hari pastilah akan
menghindarkan kita dari sikap boros dan arogan. Termasuk dalam kasus poligami.
Seandainya saja orang-orang
yang gembar-gembor mengampanyekan poligami juga berpikir ala Kaum Sinis; kalau
sudah mendapat kepuasan senggama dari satu istri, kenapa harus cari kepuasan
yang lain? Wong ya sama-sama perempuan. Bukan begitu?
Aly Reza
www.percik.id
ردحذفMuchamad Aly Reza
Memulung Kebagiaan