PERCIK.ID- Dalam sebuah
kesempatan, saya pernah mendengar KH. Jamaluddin Ahmad bertutur mengenai kisah
Imam Ghozali.
Syahdan, Imam Ghozali
pernah memperoleh surat dari sahabatnya, seorang alim bernama Syaikh Fattah al-Mausili:
يَا إِمَامُ الْغَزَالِي أُكْتُبْ لِي كَلِمَةً أَتْعِظُ بِهَا
“Hai, Imam Ghozali,
tuliskanlah sebuah kalimat untukku agar kubuat sebagai wejangan bagi diriku.”
Surat itu ternyata
mendapat balasan yang agak panjang dan mengejutkan dari Imam Ghozali:
يَا فَتَّاحُ الْمَوْعِظَةُ زَكَاةٌ وَنِصَابُهَا الْإِتْعَاظُ
فَمَنْ لَيْسَ لَهُ نِصَابٌ فَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ وَمَنْ لَيْسَ لَهُ
نُوْرٌ فَكَيْفَ يَسْتَنَارُبِهِ وَكَيْفَ يَسْتَقِيْمُ الظِّلُّ وْالْعُوْدُ الْأَعْوَجُ
“Hai Fattah,
mauidzoh itu bagai zakat. Nisobnya adalah mampu menasihati atau me-mauidzoh-i
diri sendiri. Siapa yang belum memiliki nisob, maka baginya tak wajib berzakat.
Siapa yang tidak memiliki cahaya, bagaimana mungkin mampu memberikan
penerangan? Dan bagaimana pula sebuah bayangan kayu mampu terlihat tegak lurus
padahal kayunya sendiri bengkok?”
Dalam dinamika
sosial dan budaya, masyarakat kita gemar menyelenggarakan acara yang
melibatkan, bahkan mengharuskan dan menganggap penting adanya mauidzoh hasanah.
Acara pernikahan, syukuran kelahiran anak, rumah baru, naik jabatan, refleksi
akhir tahun, hingga tutup tahun perusahaan tak jarang menyediakan jatah ruang
bagi mauidzoh hasanah. Biasanya mauidzoh hasanah merupakan momen yang paling
khidmat di antara poin acara yang lain. Ulama, dai, kiai, ustadz dan agamawan
didatangkan untuk memberi mauidzoh hasanah kepada jama’ah yang hadir dengan
tentu saja selepas acara, panitia atau pengundang akan menyodorkan amplop,
salam tempel, bisyaroh, atau apapun
namanya bagi pengisi mauidzoh.
Salam tempel
memang sudah dianggap sebagai tradisi dan etika masyarakat kita sebagai ucapan
terima kasih. Namun dalam perkembangannya, tidak sedikit para
penceramah—sebutan lain bagi pemberi mauidzoh hasanah di Indonesia—yang mematok
tarif khusus. Jika kita melihat kisah Imam Ghozali di atas, tentu fenomena
patok tarif terasa amat miris—kalau tidak dapat disebut menjijikkan.
Lihatlah bagaimana
ulama-sufi-intelektual tersohor sekaliber Imam Ghozali yang hingga hari ini
kitabnya masih diwedari isinya di pesantren-pesantren dan karyanya masih dikaji
di bilik-bilik kampus, dengan rendah hati ‘menolak’ memberi nasihat yang
diminta oleh sahabatnya sendiri karena menganggap dirinya belum pantas dan
belum memiliki nisab—jumlah harta minimum yang dimiliki—sebagai syarat wajib
mengeluarkan ‘zakat’ mauidzoh, yakni menasihati diri sendiri. Bagai padi, makin
berisi semakin merunduk. Begitulah Imam Ghozali, dan seharusnya begitulah pula
sikap orang-orang yang mendaku diri sebagai penceramah.
Hal terpenting
yang dapat kita pelajari dari Imam Ghozali adalah kesadaran terhadap diri
sendiri. Kita harus mengenal dan menyadari kelebihan dan kekurangan diri. Ada
banyak kekacaun yang terjadi di dunia ini yang berembrio dari ketidaktahuan
kita dalam mengenali diri sendiri. Merasa pantas menjadi pemimpin, padahal
sebenarnya tak kompeten memimpin. Merasa layak menjadi penceramah, meski sejujurnya,
dirinya sendirilah yang harus diberi ceramah.
Hari ini,
penceramah ibarat sebuah profesi yang menjanjikan. Tidak hanya secara
finansial, tapi juga secara kelas sosial. Sebab umumnya, seorang penceramah
dianggap memiliki pengetahuan agama yang mumpuni. Maka orang-orang tak pernah
segan untuk menghormati dan berebut mencium tangannya. Padahal, tak semua
penceramah memiliki pengetahuan agama yang tinggi, apalagi mengamalkannya.
Lantas muncul
pertanyaan. Jika fenomena penceramah sudah sedemikian masif dan selebritif,
bagaimana cara kita untuk memilih penceramah yang benar-benar kompeten?
Standar penceramah
memang tidak pernah secara resmi diatur dengan detail oleh lembaga negara kita,
sehingga fenomena maraknya penceramah tidak bisa kita bendung. Namun secara
pribadi, untuk memilih penceramah yang ingin didengar, saya akan meminta fatwa
terhadap hati nurani. Tengok dan simaklah isi ceramah mereka, lalu tanyakan
pada hati nurani masing-masing kita: Apakah isi ceramahnya baik bagi kita?
Apakah isi ceramahnya tidak menyalahi nilai-nilai kebaikan bersama? Apakah isi
ceramahnya mampu memberikan dampak positif bagi pribadi kita? Jika jawabannya
iya, silakan lanjut menyimak ceramah-ceramahnya. Jika jawabannya sebaliknya, sudahi
segera mendengar ceramahnya.
Tentu tidak fair
jika kita membandingkan para penceramah hari ini dengan Imam Ghozali, dan saya
memang tidak pernah berniat untuk melakukan hal itu. Namun kisah Imam Ghozali
tersebut sudah semestinya dijadikan sebagai bahan renungan bagi penceramah,
calon penceramah, dan kita selaku konsumen ceramah. Sebab bagaimanapun, telinga
kita berhak memperoleh asupan ceramah yang bergizi. Terlebih bagi kesehatan
hati dan kehidupan kita.
Imam Ghozali pada
akhirnya memang menolak permintaan Syaikh Fattah al-Mausili untuk memberikan
mauidzoh. Namun sesungguhnya, surat balasan yang berisi penolakan halus itu
sendiri merupakan sebuah mauidzoh. Dari yang tersurat, Imam Ghozali menuliskan
kriteria-kriteria penceramah (wâidzh—pemberi
mauidzoh).
Pertama,
penceramah harus berakhlak baik, sudah mampu menceramahi dirinya sendiri (itti’âdz), sebab itulah nisab bagi
penceramah. Barang siapa belum memenuhi nisabnya, pantang baginya berceramah.
Kedua, harus
memiliki cahaya dalam hatinya (nûr).
Tanpa cahaya, tak mungkin penceramah mampu memberikan penerangan bagi hati
pendengarnya.
Ketiga, harus istiqomah
(yastaqîmu). Istiqomah berarti
konsisten dalam kebaikan. Tanpa konsistensi dalam kebaikan, mustahil bagi
penceramah untuk memantulkan kebaikan terhadap jama’ahnya. Dari yang tersirat,
Imam Ghozali menambahkan satu kriteria lagi, yakni kerendahan hati. Penceramah
harus memiliki kerendahan hati untuk melihat ke dalam dirinya sendiri: Apakah
sudah memenuhi nisab ‘zakat’ mauidzoh? Apakah sudah memiliki cahaya dalam
hatinya? Dan apakah sudah mampu istiqomah?
Sekarang mari
lihat diri kita sendiri. Jika tidak memenuhi keempat syarat di atas, jangan
pernah sekali-kali nekat menjadi penceramah. Wallahu a’lam.
www.percik.id
ردحذفMuhammad Imdad
Al-Ghozali: Nasihat Adalah Zakat