PERCIK.ID- Seorang laki-laki berambut putih dengan kepala pening menceritakan keadaannya kepada sahabatnya perihal dagangannya yang tak selaris kala jaman orba. Dulu, jualan bisa beromset lima kali lipat dari modal yang harus dikeluarkan. Sekarang, mendapat untung dua kali lipat saja sudah terengah-engah.
Ia merasa jaman berubah. Segala sesuatu berubah, termasuk
yang ia anggap berubah dan tak berpihak kepadanya adalah kebijakan.
Orang di sekitarnya sudah sering mengingatkan untuk
evaluasi diri. Ada banyak hal yang berubah dan harus disesuaikan. Tapi dasarnya
ia lupa soal hukum kehidupan, bahwa tak ada yang tak berubah, tak ada yang tak
bergeser. Bahkan lebih dari itu, keadaan bisa jadi bertransformasi dan
berbanding terbalik dengan tahun-tahun yang telah ia jalani.
Laki-laki berambut putih dengan kumis tipis itu tak
menyadari bahwa setiap perubahan membutuhkan penyesuaian untuk tetap konstan
pada posisinya, atau bahkan lebih baik lagi. Jika mengharapkan progres, segala
yang dinamis tentu tidak bisa diperlakukan dengan statis.
Hardikan dan hujatan sudah ditunaikan, tapi tak merubah
apa pun dalam dirinya. Ia tetap tak mendapatkan hasil yang diharapkan. Pun ia
tetap tak mencoba menyesuaikan dengan keadaan. Ia masih memilih jalan
konvensional karena tidak tahu apa yang terjadi, dan apa yang harus dilakukan.
Yang ia tahu, ia adalah korban. Kemundurannya murni karena kesalahan orang lain
yang berimbas pada dirinya.
Itulah yang membuat beberapa orang yang sudah memberikan
nasihat jengah dan wegah untuk mengulang-ulangnya lagi. Tak ada hasilnya. Ia
tetap merasa korban dan tak ada yang harus dirubah. Wajar jika orang yang sudah
memberi nasihat akhirnya berada dalam satu frekuensi yang sama, menunggu waktu
usahanya gulung tikar.
Tak ada lagi nasihat yang terlontar untuknya. Usahanya
juga jelas mengalami penurunan signfikan. Ia setiap hari ada di toko, menanti
pembeli, tapi hanya satu dua yang datang. Hampir saja ia patah arang meneruskan
roda usahanya yang sudah ia rintis puluhan tahun lalu.
Di tengah kepelikan itu, ia mengambil satu pack rokok
yang ia jual di tokonya. Merokok tak pernah ada dalam kamus hidupnya sejak SD.
Ketika itu ia diomeli habis-habisan oleh ibunya karena ketahuan merokok di
pojok gudang rumahnya. Padahal ketika itu ia merasa keadaan sudah sangat aman
dan kondusif.
Malang tak bisa ditolak, mujur tak dapat diraih, ibunya
memergokinya sedang menyelami hisapan demi hisapan rokoknya sembari sesekali
menggelengkan kepala tanda menikmati.
Memori itu ia buka ulang. Sejak saat itu, mulutnya tak
pernah sekalipun merasakan asap rokok. Tapi entah mengapa, kali ini ia merasa
ingin sekali menghisapnya. Mungkin karena penat dan mampat di kepalanya yang
makin tak terelakkan.
Ia ambil satu batang rokok, ia taruh mulutnya. Ia
nyalakan korek apinya, tak kunjung menyala. Ia coba lagi, tak juga berhasil. Ia
bertanya-tanya, "apakah alam tidak merestui aku merokok kembali?"
Ia nyalakan lagi koreknya, tak menyala. Ia coba lagi,
masih tetap sama. Hampir saja putus asa menghinggapinya, sampai kemudian kedua
mata berkacamatanya melihat kotak kecil yang ia tahu bahwa itu jelas korek
anaknya. Ia beranjak dari tempat duduk dan mengambilnya.
Korek ia angkat, ia perhatikan, ia bolak balik, tertulis
Zippo di bagian bawahnya. Ia ingat, itu salah satu korek prestise yang ada sejak
ia muda. Sayangnya, ia belum pernah sama sekali menggunakannya, apalagi
memiliki.
Korek ia buka, lantas ia nyalakan. Sekali putar, korek
langsung menyala.
Dari situ ia berpikir bahwa prestise sebuah barang,
eleganitas dan kualitas menjadi salah satu cara tepat bertahan di tengah
pusaran perubahan keadaan yang terjadi.
Ia hisap rokoknya sekali, jalan pikirannya mulai bekerja.
Banyak hal yang meski berkesan konvensional, tapi harus disesuaikan dengan
keadaan. Hisapan kedua. Pikirannya terbuka. Arogansinya dalam mengambil
keputusan dengan menolak mentah saran adalah kesalahan besar. Orang- orang
memberinya masukan jelas ingin ia maju dan tak ingin ia tumbang.
Hisapan ketiga dan selanjutnya, pikirannya seolah
menyala. Ide-ide bermunculan. Gambaran apa dilakukan seolah gamblang di dalam
matanya.
Sebulan kemudian, usahanya mulai ramai kembali seperti
dulu. Perubahan telah ditunaikan. Omset jelas meningkat. Ia kini bisa tersenyum
lebar.
Tak segan, ia mengangkat rokoknya lantas berfatwa: "Rokok Matahari, membuka pikiran Anda setiap hari.
---------
Cerita di atas adalah salah satu contoh yang bisa digunakan sebagai iklan untuk divisualkan. Tak harus rokok, rokok bisa diganti dengan produk lain, makanan misalnya. Sebab perut lapar bagi sebagian orang merupakan penghambat berpikir yang nyata.
Tulisan Ahmad Yusuf Tamami Lainnya
https://www.percik.id
ردحذفRehat: Dinamis dan Statis