PERCIK.ID- “Nak, jika Kau punya rejeki berlebih, diamlah!” dawuh mama saya, “Pun jika Kau merasa kebutuhanmu kurang, diamlah!” tutup beliau.
Orang
berlebih harta jika diumbar akan menimbulkan multipersepsi, walaupun mungkin
tujuannya baik. Ada yang berprasangka pamer, riya’, dan sombong. Ada yang
berprasangka betapa dermawannya, betapa bahagianya ia yang dengan mudah membeli
segala kebutuhan dan keinginannya. Orang yang sedang diuji dengan harta jika
diceritakan kesana kemari juga akan memunculkan opini yang bermacam-macam. Kok
bisanya hanya mengeluh, mbok yao bersyukur dengan yang ada atau justru
perasaan iba dari yang menyaksikan kekurangan harta ketika disosialmediakan.
Maka, miturut
mama saya diam terhadap kondisi kita -sedang berlebih atau kekurangan- adalah
hal paling bijak. Berbuatlah dengan kelebihan itu diam-diam, berikhtiarlah
mencukupi kekurangan dengan kerja keras lagi cerdas, bukan ramai di depan orang
apalagi di media sosial. “Karena dengan begitu, walaupun kondisimu kekurangan, hatimu
akan merasa cukup dengan usahamu, Nak,” beliau menyimpulkan.
Sebuah
riwayat menceritakan, “Lihatlah orang yang ada di bawahmu, jangan melihat
yang ada di atasmu, sebab jika melihat mereka yang di bawah kita setidaknya
rasa syukur ini akan bertumbuh.” Petunjuk Nabi Muhammad saw. di atas
merupakan salah satu cara agar kita selalu merasa cukup.
Cukup ini
adalah langkah untuk mengqonaahkan diri. Qonaah ini adalah sikap rela dan
menerima. Nerimo ing pandum, kata orang Jawa. Naremah, kata orang
Madura. Latihan untuk mencukupkan atas segala karunia Alloh adalah proses yang long
life, till the end of the day.
Memiliki
perasaan cukup itu enak. Semua yang terjadi atas apa yang menimpa diri kita
akan menjadikan kita wibawa dengan perasaan cukup. Ketika ternyata takdir
melebihkan dari standar cukup jangan-jangan celah untuk mentasarufkan harta
tidak tepat guna, bukankah potensi durhaka kepadaNYA lebih besar? Atau saat rejeki
yang kita terima kurang dari kebutuhan, jangan-jangan kesedihan kita justru menyalahkan
takdirNYA. Tidakkah yang demikian juga mendekati dengan kufur nikmat?
Sekali
lagi, cukup itu enak. Setiap keinginan akan terkontrol minimal dengan ucapan
alhamdulillah. Sedikit atau banyak yang kita terima akan bermuara pada rasa
syukur. Merasa cukup akan jauh lebih dekat dengan qonaah. Sedangkan qonaah
merupakan ajaran Nabi. Sesiapa yang berusaha qonaah, ia pun akan terjauhi dari
sikap tamak, iri dengki terhadap rejeki tetangga, tidak sabar dan dzolim.
Kalau
sudah ada di tingkatan merasa cukup yang sejati, kita tidak akan takut
kehilangan apa yang melekat pada kita. Kompetisi dalam bermasyarakat pada zaman
ini adalah satu hal yang lumrah terjadi. Persaingan menjemput rejeki sebagai
syarat menafkahi keluarga juga terjadi.
Tergelincir dalam cara-cara yang menyimpang merupakan bagian dari
seseorang merasa tidak cukup dengan apa yang ia terima. Sikat kanan, sikat
kiri! Tidak terasa jatah saudara kita juga kita embat. Astaghfirulloh.
Coba kita
perhatikan sekeliling kita yang merasa cukup dengan setiap pencapaiannya. Pasti
adem, ayem, tentrem melihat kehidupan mereka. Terlepas mereka kaya atau
miskin, kalau sudah merasa cukup, justru hati mereka akan besar dan kaya dalam
bermasyarakat. Mereka yang merasa cukup akan terlihat khusyuk, tuma’ninah,
tenang, dan damai dalam setiap urusannya. Kehati-hatiannya dalam bertindak juga
tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Melihat orang merasa cukup saja enak,
apalagi kalau kita merasa cukup pasti akan lebih enak.
Baca Juga:
www.percik.id
ردحذفPandu Tokoh Amukti
Cukup Itu Enak