PERCIK.ID- Islam mengajarkan ajaran
kemanusiaan dengan begitu lekat. Imam al-Ghozaly dalam Ihya’nya mengatakan;
يَمْزَحُ مَعَهُنَّ
وَيَنْزِلُ اِلَى دَرَجَاتِ عُقُوْلِهِنَّ فِيْ الأَعْمَالِ وَالْأَخْلَاقِ
“Rosululloh saw. gemar bercanda dengan istri-istri beliau, dan beliau mudun beberapa derajat menempatkan diri menyesuaikan dengan pemikiran mereka dalam perbuatan dan juga akhlak.”
Islam adalah agama kasih-sayang tampak jelas dari ajarannya yang lembut lagi mempesona.
Sungguh wajah Islam lebih menawan. Jika Islam bersosok perempuan, semestinya Islam lebih
menawan dari Chelsea Islan, Pevita Pearce, atau bahkan Dian sastro sekalipun. Yang pasti,
Islam sangat menawan dengan berbagai ajarannya.
Ajaran Islam bermuatan kasih-sayang mulai bangun
tidur hingga tidur kembali. Islam
agama paripurna akmaltu lakum dinakum. agama yang rohmatan lil ‘alamin. Meminjam
istilah Guru Kami Islam adalah agama yang ‘Rohmah Kemanusiaan dan Ramah Lingkungan’.
Dalam artian Islam
mengajarkan untuk hidup seimbang lagi harmoni. Ia mengajarkan bagaimana berinteraksi
dengan alam lingkungan, hewan, tanaman hingga bebatuan. Ia juga mengajarkan
bagaimana bermuamalah-sesrawungan kepada sesama anak Adam; mulai yang
masih bayi hingga aki-aki. Sehingga bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Tidak ngawur. Tidak berat sebelah.
Kalau boleh diqiyaskan fase
manusia itu ibarat buah kelapa ia bermula dari; blulug, cengkir, degan,
kemudian berevolisi menjadi kelapa. Bayi, anak-anak, remaja, dan dewasa.
Setiap fase, manusia
memiliki pemikiran yang beragam. Bayi sudah merasa cukup hanya degan susu
ibunya; menginjak usia anak-anak, mulai suka permen dan ciki-ciki; sedang
remaja sudah mengenal nikmatnya sambel trasi dan bisa menilai kalau Dian Sastro
itu cantik; sedangkan dewasa beda lagi. Itulah fase pemikiran manusia. Tidak
bisa digebyah uyah. Dan dipaksakan. Sambel terasi nikmat bagi
orang dewasa. Bagi bayi bisa menjadi racun yang mematikan.
Anak-anak yang baru suka nekeran
dan Mobil Legend—menurutnya hal yang paling menyenangkan ialah permainan—
tidak bisa dipaksa wiridan mutar tasbih, ngaji, baca qur’an, seperti kebanyakan
orang dewasa yang baru sadar akan kelalaiannya. Pun sebaliknya tidak bisa
disalahkan orang dewasa yang sudah mencapai maqom seneng ngaji dan wiridan
sehingga lupa akan segala permainan. Walaupun toh juga
banyak orang dewasa yang nalar pikir dan bertindaknya layaknya anak-anak.
Sehingga kita sering mendengar kata “kekanak-kanakan” ungkapan itu pasti
ditujukan kepada aki-aki, bukan untuk upin dan ipin.
Kanjeng Nabi Muhammad saw. telah mendudukan Islam sebagai agama yang
menyenangkan, murah senyum, dan baik hati kepada siapa pun dan dalam keadaan apa pun. Orang jawa bilah “mapah
gedang-empan papan” sehingga Islam ditangan Rosululloh saw. begitu sagat asyik lagi
menyenagkan. Asyik-asyik jooos!
Satu contoh ketika beliau
berhadapan dengan seorang Baduwi [suku pedalaman] yang miskin, maka beliau pun
menyesuaikan pemikirannya; ketika ia bertanya kepada beliau “Ya Rosululloh
ajari aku sesuatu amalan yang jika aku kerjakan
akan masuk surga.” Maka beliau menjawab: “Engkau beribadah
kepada Alloh dengan tidak menyekutukanNYA dengan sesuatu, engkau tegakkan
sholat yang wajib, engkau kerjakan zakat yang telah difardhukan, dan berpuasa
romadhon,” ia berkata; “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada dalam
genggamanNYA, aku tidak akan menambah lebih dari ini selamanya dan juga tidak
menguranginya.” Kemudian Rosululloh saw. Bersabda: “Barangsiapa ingin melihat seorang
dari penghuni surga maka lihatlah laki laki ini.”
Hal itu pasti berbeda
jika yang bertanya adalah sahabat Umar bin Khottob dan Abu Bakar as-Shidiq r.huma. beda lagi
dengan sahabat Abdurrohman bin Auf dan Usman bin Affan r.huma.
Sebagaimana
pada kesempatan yang lain ketika
datang seorang laki-laki
dan berkata; “Ya Rosululloh, perintahkanlah
kepadaku dengan suatu perkara dan jangan engkau perbanyak sehingga aku lakukan,”
beliau bersabda: “La takdlob-Jangan marah,”
Demikian halnya ketika Rosululloh saw. berhadapan
dengan istri-istrinya, seringkali beliau harus mudun derajat
menyesuaikan mereka seperti menyuci baju; menjahit sandal; memeras susu dll. Sungguh pemimpin para nabi
dan rosul kekasih Alloh tidak malu menjahit sandalnya sendiri.
Kita saja yang bukan
siapa-siapa, mungkin ogah bahkan malu ketika harus mengepel lantai, menyuci
kutang dan kancut istri. Biasanya suami akan berlindung dibalik alibi; Gimana nanti kalau dilihat
orang, malu! Masak kiai kok menyuci baju sendiri, bikin kopi sendiri, istrinya
di mana?
Sungguh kiai, ustadz, prof dan lain sebagainya tiada sebanding dihadapan Rosululloh saw. yang bergelar kekasih Alloh. Jika kita memandang kedudukan Rosululloh saw,
sebenarnya tidak layak kalau beliau harus menambal baju, menjahit sandal, dan
memerah susu
sendiri. Namun demikianlah Kanjeng Nabi saw.
meneladankan.
Bahkan beliau menempatkan
bercanda dengan istri merupakan suatu ibadah bukan suatu yang tercela, meskipun
untuk itu beliau harus mudun derajat menyesuiakan pemikiran mereka.
Misal beliau pernah lomba lari balap-balapan dengan ibunda ‘Aisyah r.ha. yang terkadang kalah dan
menang. Hal itu beliau lakukan dengan sepenuh hati, sehungga Ibunda ‘Aisyah pun
merasa bahagia. Dan di antara ciri suami yang baik ialah yang paling baik
sikapnya terhadap keluarganya.
Sehingga Luqman al-Hakim
pernah berkata; “Orang yang berakal seharusnya berlaku seperti anak kecil
terhadap istrinya, dan apabila ia berada di antara orang banyak, maka ia harus
tetap seperti laki-laki”.
Baca Juga:
Makna Husnul Khuluq Menurut Imam Ghozali
Tarekat Kebahagiaan Syaikh Hasan asy-Syadzili dan Didi al-Kempoti