PERCIK.ID- Beberapa waktu yang lalu saya mencoba jarang makan karena sok-sokan ingin menurunkan berat badan. Tanpa saya sadari, ternyata jarang makan selama berhari-hari itu memberikan dampak yang sama sekali tidak saya prediksi sebelumnya, yaitu mudah kenyang. Makan sedikit saja perut sudah terasa penuh.
Saya lalu kemudian teringat Marcel Widiyanto yang sering
menceritakan masa lalunya yang harus berakrab-akrab dengan kelaparan. Ketika
menjadi tamu di salah satu podcast, ia menceritakan sering tidak makan dan
harus berjaga-jaga dengan promag agar tidak ada efek pada lambungnya. Tapi overall,
kesehatannya tergolong aman-aman saja dengan kemiskinan yang mesti
berakrab-akrab dengan lapar.
Soal mudah kenyang, barangkali ini seringkali terjadi
ketika puasa. Hasrat kita yang lapar adalah makan yang enak dan banyak ketika
berbuka. Tapi apa daya, kadang baru makan sedikit saja sudah tak kuat. Yang
saya rasakan ketika kemarin jarang makan juga seperti itu. Rasanya baru makan
sedikit, tapi kok sudah
kenyang luar biasa.
Tapi hal tersebut kemudian menarik saya pada asumsi bahwa
tubuh memang punya daya kontrol detail yang tidak hanya mengacu pada kebutuhannya,
tapi juga pada kebiasaannya. Bagi saya ini merupakan keajaiban tubuh yang luar
biasa. Sebab ia tahu harus bagaimana mengontrol diri pada kondisi orang yang
membadaninya. Setidaknya kontrol ini menjadi kelebihan tersendiri bagi kontrol
tubuh orang miskin yang kadang jarang makan. Sebab ketika makan sedikit saja,
itu sudah cukup untuk asupan tubuhnya. Ia sudah kenyang dengan apa yang ada.
Ini bisa kita komparasikan dengan orang yang gendut atau
orang kaya pada umumnya. Orang yang gendut, jangankan tidak makan, sudah makan
saja masih terasa kurang. Faktor dan efek gemuk berjalan berbarengan, yaitu
suka makan dan mudah lapar. Begitupun dengan orang kaya. Mereka biasa makan
dengan jumlah dan menu yang cenderung banyak dan beragam. Tentu akan sangat timpang
jika kemudian dibandingan dengan orang miskin. Jelas berbeda. Masing-masing
dengan kondisinya kuat-kuat saja sebab terbiasa demikian.
Tidak hanya pada soal kuantitas makanannya, tapi juga
soal kualitas makanannya. Ini barangkali bukan soal harga mahal-murahnya, tapi
murni kualitas itu sendiri.
Orang-orang yang miskin terbiasa makan dan minum dengan
kualitas seadannya, bahkan kalau tak ada air matang, air kran pun mereka minum
dan biasa-biasa saja.
Soal makanan juga demikian. Perkataan “jangan makan
makanan yang sudah jatuh lebih dari 5 detik” atau semacamnya itu jelas tak
laku. Jangankan yang sudah sebelum 5 detik, 5 jam kalau masih bisa dimakan ya
dimakan. Toh mereka tetap kuat dan tahes
dengan kualitas semacam itu.
Kalau itu dilakukan oleh orang kaya, kemungkinannya
adalah mules atau jatuh sakit. Alasannya bisa sebab bakteri, tidak hiegenis dan
yang semacamnya.
Kontrol tubuh terhadap kondisi ini jelas patut kita
subhanallohkan. Alloh sedetail itu mengatur kesesuaian dan menyeimbangkan. Nyatanya,
banyak orang miskin yang sehat dengan kondisi kelaparan dengan makanan yang
sedikit berbakteri dan tidak hiegenis-hiegenis amat. Setidaknya ini (menurut beberapa
cerita) juga sering dirasakan oleh anak-anak kos yang bertahan dengan uang
akhir bulan yang menipis.
Tentu ini tidak dalam rangka mendeskreditkan orang miskin
untuk dibiarkan, “toh juga kuat lapar”. Tapi betapa Alloh memberikan kekuatan
dan kontrol tubuh yang luar biasa dalam keadaan mereka. Sesuatu yang barangkali
jarang tidak dimiliki oleh orang kaya. Maka biarlah orang kaya makan bif, stik,
wagyu, the fortess stilt fisherman indulgence, posh pie, louis XIII pizza,
dan makanan-makanan dengan sebutan sulit lainnya, asal orang miskin tetap
sehat.
Saya sendiri sesungguhnya malah curiga, orang-orang miskin yang sakit itu sakit bukan sebab kurang makan atau kurang hiegenis, tapi sebab gemaya makan-makanan orang kaya.