PERCIK.ID- Kanjeng Nabi Muhammad saw. Dawuhan,
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَنْ
آمَنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ
Dari sahabat Abu Huroiroh r.hu. dari Nabi saw, beliau bersabda: “Seorang muslim adalah ketika manusia selamat dari lisan dan tangannya dan seorang mukmin adalah ketika manusia merasa aman darinya atas darah dan hartanya.”
Kita mungkin juga sering mendengar, “Jika dicubit terasa sakit, maka jangan menyubit orang lain. Jika tidak suka
keburukan kita diketahui orang lain, maka jangan mengumbar dan membicarakan aib
orang lain. Jika dibentak hati terasa sakit, ya
jangan membentak orang lain.” Dan seterusnya.
Jika
si fulan dapat mencegah lisannya dari membicarakan aib keburukan orang lain, berarti
ia telah berbuat satu kebaikan dalam islam, yakni telah menyumbang citra baik
sebagai seorang muslim. Dan memang demikianlah seharusnya seseorang
bersikap terhadap sesamanya.
Karenanya
seseorang yang membuang sampah pada tempatnya. Menyapa teman handai tolan
ketika bertemu. Menjalin silaturrahmi kepada saudara yang baik kepada kita. Itu
semua perbuatan baik namun belum bisa disebut “husnul khuluq” atau berbudi pekerti luhur. Karena memang begitulah seharusnya hidup bermasyarakat.
Imam
al-Ghozali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin mengatakan.
لَيْسَ حُسْنُ الْخُلُقْ كَفَّ الْأَذَى بَلْ
إِحْتِمَالُ الْأَذَى
“Tidak disebut khusnul khuluq ketika
tidak menyakiti. Akan tetapi [yang disebut husnul khuluq itu] sabar menanggung
derita ketika disakiti.”
Khusnul khuluq itu bukan sebab tidak
membicarakan aib orang lain. Akan tetapi ketika kamu dirasani, dibuli,
dan diperlakuan buruk oleh orang lain. Tidak marah dan mampu memberi maaf.
Khusnul khuluq itu bukan ketika membuang
sampah pada tepatnya. Karena memang begitulah seharusnya. Namun ketika rumahmu
dibuangi tahi kamu tidak marah, tapi justru mendoakan kebaikan untuk
yang membuang di rumahmu.
Berbuat baik terhadap tetangga, memberi
makan kepada yang kelaparan, memberi pakaian kepada yang telanjang, mengasihi
yang terlunta, mempererat tali persaudaraan, semua itu menurut Imam al-Ghozali bukanlah
khusnul khuluq. Akan tetapi, ketika salah seorang dari saudaramu membencimu, memusuhimu,
membicarakan keburukanmu, memutus persaudaraan denganmu tapi justru engkau
menyambungnya, merangkulnya dan memberinya hadiah.
Tidak juga disebut khusnul khuluq seorang
suami yang mesra terhadap istri dan tidak memerlakukannya seperti pembantu di
rumah sendiri, termasuk juga bersikap asih terhadap anak-anaknya. Karena memang
begitulah seharusnya tugas seorang suami terhadap keluarganya. Akan tetapi
mampu bersabar dan bersikap Lembut menghadapi
istri yang cerewet.
Sebagaimana kanjeng Nabi saw. ketika dimarahi oleh
salah satu istrinya, beliau tetap bersabar dan tidak mengeluh serta bersikap
ridho. Pernah beliau suatu saat berselisih dengan para istrinya, sehingga
salah seorang istri mendorong dada beliau lantaran rasa kesal dan cemburu. Namun beliau tidak marah. Bahkan pernah ada seorang istri yang menjothak
(mendiamkan) beliau hingga sehari-semalam. Beliau pun tidak marah. Inilah khusnul
khuluq. Sehingga Alloh swt. mencap beliau dengan firmanNYA;
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sesungguhnya kamu [Muhammad] benar-benar berbudi
pekerti yang agung.” (Qs. al-Qolam :[68] 4)
Kembali kepada sabda Nabi saw. di atas.
Ketika mampu menahan lisan dan tangan kita dari berbuat jahat terhadap makhluk Alloh
swt. berarti kita telah menjadi muslim
yang baik, dan itu pahalanya sangat besar disisi Alloh swt. Akan tetapi jika
mampu bersabar menahan derita akibat ulah tangan manusia, lillahi ta’ala. Maka
sungguh pahalanya jauh lebih agung. Dan itulah khusnul khuluq.
Perbandingannya seperti apa yang
disampaikan oleh Imam al-Ghozali menukil pendapat Imam Hasan al-Basri r.hu.
الذِّكْرُ
ذِكْرَانِ ذِكْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ بَيْنَ نَفْسِكَ وَبَيْنَ اللهِ عَزَ وَجَلَّ مَا أَحْسَنَهُ وَأَعْظَمَ
أَجْرَهُ, وَأَفْضَلُ مِنْ ذَالِكَ ذِكْرُ اللهِ سُبْحَانَهُ عِنْدَ مَا حَرَّمَ
اللهُ عَزَ وَجَلَّ.
“Dzikir itu ada dua macam; dzikir antara
hamba dengan sang Pencipta. Sungguh dzikir ini
pahalanya sangat besar disisi Alloh swt. dan yang kedua lebih
utama dari “dzikir empat mata” yaitu, dzikir [ingat Alloh]
saat hati terdorong hendak melakukan perbuatan
yang diharomkanNYA. Sehingga tidak
jadi melakukannya.”
Baca Juga: