PERCIK.ID Dari tulisan seri sebelumnya, ada beberapa response yang masuk langsung ke saya, baik itu sifatnya sekadar masukan, saran, juga ada pula yang bernada sanggahan. Itu terutama menyangkut garis besar konsep yang memang ingin saya angkat di sana, yakni: kerja tak semestinya dibebani keharusan untuk maju. Bekerja adalah satu bagain besar dari hidup, sehingga tak semestinya menjadi tirani yang menjajah kebahagiaan manusianya.
Tapi, bekerja tanpa beban untuk itu tolong jangan
ditafsirkan sebagai kerja yang asal-asalan atau sembrono. Pada tulisan itu,
saya menekankan bahwa bekerja tanpa beban justru harus diikuti dengan
kesungguh-sungguhan. Bekerja tanpa beban harus dijiwai dengan ketekunan sebab di sanalah letak bekerja yang bahagia.
Sebaliknya, kemalasan adalah biang kerok dari kerja yang tak membahagiakan.
Jadi ternyata dinamika malas dan capek itu saling
menyebabkan satu sama lain. Bukan malas karena capek saja, tapi bisa capek
karena malas. Itu efek beruntun yang sebisa-bisa dipahami sehingga hidup jadi
lebih nyaman dijalani. Siapa orangnya yang mau hidup dilingkupi capek,
pegal-pegal, dan badan kaku. Kita ingin bugar, segar, fit, dan ternyata itu
ditempuh justru dengan bergerak, bukan kebanyakan istirahat (baca: bermalas-malas).
Bahwa kemudian kita merasa capek dan butuh istirahat,
tentu saja itu wajar dan manusiawi. Tapi ada batas yang perlu ditemukan antara
istirahat dan bermalas-malasan. Umar bin Khoththob pernah menyampaikan nasihat bahwa ia
membenci seseorang yang tak melakukan apapun untuk dunia dan juga untuk akhirotnya. Saya pikir ini pendekatan yang
baik untuk memaknai malas.
Kembali, titik tekan saya adalah sregep.
Sebab dengan sregep itu, badan dan pikiran akan mencapai kebugaran yang
baik. Capek memang tak bisa dihindari, tapi setidaknya bukan capek yang bikin
kaku dan beku badan, atau apalagi pikiran. Tampak, sregep yang
secara dzahir merepotkan dan membuat capek justru adalah jurus jitu menuju
kerja yang membahagiakan, hidup yang ringan.
“Tapi Nggar, sungguh-sungguh saja, sregep tok,
tetap nggak bisa bikin kerja jadi bahagia lho, fyi!”, demikian pesan
selanjutnya yang juga saya tangkap dari kawan saya yang lain.
Oke. Mengenai ketekunan, sregep, atau
kesungguh-sungguhan memanglah faktor yang datang dari dalam diri manusianya.
Saya sangat menyoroti faktor internal ini, karena menurut saya, ia lebih memiliki
porsi lebih besar dibanding urusan eksternal dalam hal bahagia atau tidaknya
seseorang saat bekerja. Urusan eksternal, misalnya mengenai pekerjaan itu
sendiri, memang berpengaruh pula pada kebahaagiaan manusia. Tapi sekali lagi,
itu tak sebesar faktor internal dari dalam diri manusianya.
Soal faktor eksternal ini, meyangkut urusan kerja dan
pekerjaan, jujur saja saya hampir-hampir bosan menuangkan narasi “pot yang
tepat”. Sudah berulang-ulang menuliskannya, bolak-balik menceritakannya melalui
obrolan atau diskusi, juga bahkan selalu saya tancapkan sebagai keyakinan yang
tak pernah goyah. Kerja ibarat menemukan pot yang tepat. Sehingga, dengan
kecocokan pot itu, maka sebagai manusia yang tumbuh di dalamnya kita akan segar menjulang, subur, dan berbuah
manfaat.
Soal uang? Tak perlu dinafikan, itu tentu saja kebutuhan
mendasar bagi setiap pekerja. Manusia yang bekerja tentulah semestinya
mendapatkan balasan berupa upah, gaji, atau sebutlah uang, meskipun pada konsep
‘pot yang tepat’ dan ‘kerja tanpa beban’ di atas, uang bukanlah variabel yang perlu dicita-citakan.
Uang perlu, harus ada, tapi tak perlu dicita-citakan, bahkan tak usah terlalu
dicari-cari amat. Seperti oksigen, ia harus selalu ada, tapi hampir tak ada
manusia yang bersusah payah menemukan oksigen. Kecuali kemarin dalam keadaan
pandemi yang genting.
Yang pasti ada kebahagiaan tersendiri di atas perkara uang yang bisa kita peroleh dari
kerja. Dalam ‘pot yang tepat’ itu, manusia akan menemukan habitat yang sesuai
dengan karakteristik dirinya. Bukan hanya soal tempat dan cara kerja yang cocok
dengan kebiasaan serta budayanya, melainkan lebih dari itu, ia mendapati
keseluruhan proses pekerjaan itu memang menumbuhkan dirinya. Ibarat ikan, ia
berada di kolam yang tepat, dengan takaran volume air yang pas, kadar oksigen, serta pakan yang cocok. Ia tidak menjadi ikan
koi di sungai, atau piranha di akuarium, atau apalagi paus di kolam penangkaran.
Bahagia, dengan
demikian, tetaplah menjadi sebuah konsep yang tak mudah diterka. Tapi
setidaknya, dalam konteks bekerja-sebagai urusan yang paling besar dalam hidup
manusia modern, ada usaha yang bisa ditempuh manusia untuk mendekatinya, yakni
dengan meletakkan sregep (internal) pada ‘pot yang tepat’ (eksternal).