PERCIK.ID- Banyak orang
menghujat Fajar Sadboy yang sekarang viral dan sering nongol di tv sembari mengaitkannya
dengan semakin tidak berkualitasnya tayangan televisi. Meski saya setuju
pendapat ini, tapi sad-nya Fajar bukan tanpa arti. Sedihnya yang seolah kekal
abadi punya nilai ajar yang tak bisa disisihkan. Sedih soal cinta barangkali
soal biasa. Tapi sedih yang berlarut-larut, mengakar, mbalung sumsum,
tentu bukan perkara biasa (alih-alih dikatakan tidak normal).
Ada beberapa
catatan yang dalam hal ini kita bisa memaklumi sadnya Fajar. Pertama, kita jelas
tidak bisa mengukur seberapa dalam luka yang ia terima dari perjalanan cinta
yang ia alami. Sebab orang yang terluka sayatan kecil, tidak merasakan sakitnya
hunusan pedang. Apakah layak orang yang tergores pisau di tangan menganggap lebay
erangan kesakitan sebab sayatan pisau di leher?
Kesedihan
Fajar sebagai suhunya sakit hati barangkali sedemikian dalam dan sulit dicari padananya.
Bahkan, setiap kata yang ia ujarkan seolah semuanya berisi luka.
Kedua,
jika bukan benar-benar karena kedalamanan lukanya, pengetahuannya tentang luka jelas
tidak bisa dianggap ecek-ecek. Konklusi dari setiap kata-kata yang ia susun
adalah kesedihan. Tanpa dukungan pengetahuan luka, kosata yang punya soal
kesedihan jelas tidak mungkin seberjubel itu.
Dari sini,
saya menganggap bahwa sad-nya Fajar bukan tanpa arti sebab masyhgul dan wushul
seseorang kepada Alloh bersumber dari tempat yang sama dengannya; hati dan
akal. Masyhgul sebagai kerinduan kepada Alloh, dan Wushul sebagai sampainya
seseorang kepada Alloh secara ruhani kurang lebih memiliki gambaran yang sama
dengan apa yang dirasakan Fajar.
Di tulisan
“Cerita dari Santri Gus Baha’” saya menyampaikan soal cerita dari santri awal beliau
soal begitu seringnya beliau wushul ketika sedang menyimak setoran al-Qur’an. Wushul
tentu tidak berdiri sendiri. Ia setidaknya datang dari dua hal; Pertama, pengalaman.
Kedua, pengetahuan.
Tancapan pengalaman
dan pengetahuan yang kuat perihal sesuatu menjadikan apa yang dirasakan menjadi
begitu dalam. Sebuah obyek (baik kata atau benda) bisa menjadi pemantik untuk
wushul kepada Alloh sebab memiliki pengalaman atau pengetahuan yang mengarahkannya
ke sana. Ini sebagaimana Fajar yang juga bisa sedemikian mudah terpantik dengan
sebuah obyek yang membuatnya kemudian mengeluarkan ekspresi dan kata yang
mengandung unsur sedih.
Semakin banyak
pengalaman dan pengetahuan yang bisa memantik untuk mengingat Alloh, tentu akan
semakin mudah dan intens pula seseorang mengingatNYA. Seseorang mudah wushul
kepada Alloh, tentu tempaan pengalaman dan pengatuannya juga sangat kuat.
Mudahnya,
satu kata yang tidak sodorkan kepada seseorang akan mendapatkan uraian yang
bermacam-macam kalau kita minta untuk menjelaskan. Panjang dan dalamnya
tergantung pada pengenalan dan pengatahuan pada isi kata tersebut.
Misalnya,
ketika ARMY kita sodori nama satu personel BTS, mereka kemungkinan besar bisa menguraikan
banyak hal tentang sosoknya. Bahkan mendengar namanya saja bisa membuatnya bahagia.
Tapi coba sodorkan nama ke pecinta dangdut yang tak kenal KPOP, satu kata saja
sulit keluar untuk menggambarkannya, apalagi merasakan bahagia.
Satu nama
yang menjadi pemantik bagi yang mengenal dengan detail dan dalam akan
merasakannya sesuatu yang berbeda kita mendengarnya. Maka, tak heran ada orang-orang
yang, “idza dzukirollohu wajilat qulubuhum.” Ketika disebut nama Alloh,
hatinya bergetar. Sebab pengenalan dan pengetahuan kepada Alloh begitu dalam.
Kedalaman
hati mereka pada Tuhan, barangkali seperti halnya kedalaman hati Fajar pada
kesedihan.